Archive for the 'Uncategorized' Category

02
Feb
13

Persoalan Tubuh dalam Cerpen “Orang Rantai” Karya Pinto Anugrah

oleh: Anis Mashlihatin

Tubuh merupakan ruang yang paling intim dan personal. Akan tetapi, tubuh juga bisa menjadi ruang definitif yang menjadi sasaran masyarakat penjajah kepada masyarakat terjajahnya. Upstone (2009: 148) mengungkapkan bahwa penjajahan telah menjadi proyek yang berpusat pada manipulasi dan perampasan tubuh sebagaimana sebuah wilayah dan kunci untuk mempertahankan kontrol sukses terhadap daerah: diklasifikasikan secara sejajar melalui visi, dicatat dan ditetapkan sampai tingkat pengklasifikasian percampuran ras dan jenis tertentu.  Penekanannya pada kontrol tubuh tidak hanya melalui kekerasan, tetapi juga melalui regulasi yang lebih halus.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa persoalan tubuh menjadi hal yang sangat relevan dalam kajian pascakolonialisme. Oleh karenanya, sastra pascakolonial pada satu level mencerminkan pemusatan tubuh pada kekuasaan kolonial. Faktanya, tubuh merupakan sebuah target imperialisasi dan bahkan menanggung sebuah beban warisan tubuh yang sebelumnya ditandai dan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar.

Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan melihat cerpen “Orang Rantai” dengan perspektif pascakolonial. Dilihat dari judulnya, cerpen ini terkosentrasi pada persoalan tubuh. Namun, tubuh ini pun berhubungan secara konkret dan ditopang oleh ruang-ruang yang lain, misalnya kota dan rumah. Bahkan, tubuh pun menjadi bagian dari ruang-ruang tersebut. Untuk itu, tulisan ini akan difokuskan pada pembahasan mengenai bagaimana tubuh dipersoalkan, tanpa mengesampingkan ruang-ruang lain yang mendukung keberadaan tubuh tersebut.

Cerpen “Orang Rantai” diterbitkan pada tahun 2012 dalam sebuah antologi Kumis Penyaring Kopi. Cerpen ini menceritakan sebuah keluarga kuli kontrak batubara (Mak, Bapak, dan Saya) di Sawahlunto dengan mengambil sudut pandang tokoh saya. Mereka bukanlah penduduk asli Sawahlunto, tetapi berasal dari Jawa. Suatu malam, di sebuah pasar malam, tokoh bapak terlibat kasus pembunuhan seorang Indo Belanda. Kejadian tersebut kemudian menjadikan tokoh bapak dipenjara dan dijadikan orang rantai. Orang rantai adalah narapidana yang dijadikan kuli pengambil batubara karena merampok atau membunuh. Kaki mereka dirantai agar tidak melarikan diri. Dalam cerpen ini, tokoh anak digambarkan selalu mengalami mimpi bertemu tokoh bapak. Di dalam mimpinya itulah dikisahkan bagaimana kehidupan para kuli kontrak yang penuh dengan penindasan.  

Wacana kolonial yang terbentuk dalam cerpen ini diperlihatkan oleh adanya penindasan yang dilakukan oleh pihak kolonial, yaitu seorang Belanda pemilik gudang batubara, terhadap para kuli kontrak dan kemudian orang rantai. Adanya orang rantai dapat dilihat sebagai bentuk kolonialisme terhadap tubuh sebagai wilayah atau ruang. Rantai adalah simbol keterikatan tubuh, keterbelengguan. Orang rantai adalah tubuh yang tereksploitasi oleh kolonialisme Belanda sehingga ia menjadi tersubordinasi. Orang rantai, yang dalam cerpen ini diwakili oleh tokoh bapak, diposisikan sebagai liyan yang pantas dipinggirkan. Ia tidak memiliki suara untuk melawan. Akan tetapi, terdapat tokoh lain yang bertindak sebagai subjek yang meresistensi wacana tersebut. Ia berusaha melakukan aktivitas-aktivitas untuk menerobos bentuk penjajahan yang dilakukan oleh penjajahnya.

 

Dimensi Waktu

Dalam cerpen ini, waktu dibagi menjadi dua dimensi, yaitu dunia nyata dan dunia mimpi. Mimpi inilah yang menjadikan tubuh bercabang dua, yaitu bergerak ke masa lalu dan ke masa kini. Dalam hal ini mimpi berperan sebagai penghubung antara masa lalu dan masa kini. Pergerakan waktu yang dimediasi oleh mimpi ini berpengaruh terhadap keberadaan tubuh.

Tokoh saya/aku berada dalam masa kini dan masa lalu karena dialah yang mengalami mimpi. Ketika berada dalam masa kini, tokoh ini menjadi/berlabel “aku”, sedangkan ketika berada dalam masa lalu, tokoh ini berlabel “saya”. Masa lalu yang menggambarkan kondisi kuli kontrak ini selalu muncul dalam mimpi sehingga penjajahan tersebut bisa diketahui. Dalam hal ini, mimpi tidak digunakan untuk menjebak para tokohnya, tetapi berfungsi untuk mereproduksi wacana keterjajahan. Hal itu dimaksudkan agar wacana keterjajahan diingat terus-menerus, atau bahkan digunakan sebagai pemantik untuk melakukan resistensi.

Tokoh bapak adalah tokoh yang hidup di masa lalu, tetapi ia bisa berada di masa kini. Ia berada dalam dunia mimpi tokoh saya sehingga mengantarkannya di ‘dunia nyata’. Dengan kata lain, tokoh bapak diangkut lagi oleh tokoh saya (melalui mimpinya) untuk berada di masa kini. Karena berada dalam mimpi, tokoh bapak telah melampaui batas-batas. Mimpi adalah ruang yang memungkinkan tubuh bapak untuk eksis lagi setelah sebelumnya dilenyapkan.

Gerakan bolak-balik dari mimpi ke nyata yang dialami tokoh saya tersebut menjadikan waktu tumpang tindih, bahkan menimbulkan chaos. Chaos ini terjadi ketika tokoh aku berada di ruang kelas. Ia mengira bahwa gurunya sedang membacakan puisi tentang nasib para kuli kontrak. Padahal, guru tersebut sedang menjelaskan pelajaran matematika. Di sini, tokoh aku mengalami kebingungan.

Berdasarkan kondisi tersebut, yang seolah-olah berkedudukan sebagai waktu kolonial dalam cerpen ini adalah waktu dalam mimpi (masa lalu), sedangkan waktu pascakolonial adalah waktu ketika tokoh saya tidak bermimpi. Namun, hal ini tidak serta-merta menjadikan masa lalu sebagai wilayah kolonialisme dan masa kini sebagai wilayah yang terbebas sepenuhnya dari penjajahan. Hal tersebut sangat berkaitan dengan dimensi ruang dan aktivitas tubuh yang akan dijelaskan pada bab berikut.

 

Dimensi Ruang

Cerpen ini diawali dengan gambaran tentang kondisi alam yang tidak bersahabat dan tidak teratur. Topografi kota yang dikelilingi oleh perbukitan tidak sejalan bahkan berseberangan dengan kondisi yang seharusnya sehingga kota menjadi paradoksal, yang digambarkan sebagai berikut.

“Ini, bukanlah kehidupan senja di pegunungan yang sepi. Kota ini, kota yang membara oleh batubaranya. Kota yang terletak pada sebuah lembah, dikurung oleh perbukitan, hingga jika dilihat dari salah satu puncaknya persis seperti kuali. Kota kuali. Tapi jangan pernah membayangkan, karena letak topografisnya kota ini kota yang sejuk, yang setiap saat akan berhembus angin gunung atau angin lembah. Kota ini berdebu dengan suhu yang amat panas, apalagi jika siang hari” (Anugrah, 2012: 21—22).

 

Kutipan di atas memperlihatkan sebuah kota yang “membara”. Bukan kota ideal jika dilihat dari letak topografinya. Sebuah lembah yang dikelilingi oleh perbukitan seharusnya membuat kota menjadi sejuk dan dingin. Akan tetapi, langit dan bumi di kota tersebut seakan tak bersahabat. Dalam hal ini, kota direpresentasikan sebagai ruang yang tidak teratur. Ditambah lagi dengan aktivitas-aktivitas di dalamnya yang menjadikan kota semakin sibuk, hiruk pikuk. Kondisi ini disebabkan oleh kehadiran materi yang lain, yaitu batubara. Batubaralah yang menjadi bibit dari kesibukan tersebut. Batu bara yang juga merupakan bagian dari alam ternyata dapat mengganggu keseimbangan alam itu sendiri. Akan tetapi, batubara tersebut bisa “muncul ke permukaan” karena adanya manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa yang membuat keruwetan adalah manusia itu sendiri. Gambaran mengenai kota yang sibuk dan ruwet tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Sawahlunto, begitulah nama resmi kota ini. Dapat dikatakan bahwa kota ini kota yang sibuk. Pecahan batubara terserak dimana-mana. Lori-lori hilir mudik mengangkut batubara dari lubang-lubang tambang yang tak jauh dari pusat kota. Tiap sebentar kereta api akan berangkat dan berhenti di stasiun mengangkut emas hitam itu ke pelabuhan” (Anugrah, 2012: 22).

 Lori, kereta api, dan stasiun adalah ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya kesibukan tersebut. Lori adalah jalan yang memungkinkan pergerakan kereta api, sedangkan stasiun adalah muara yang dituju oleh pergerakan tersebut. Ketiganya saling berkorespondensi untuk memperkuat kesibukan. Jika ketiga ruang tersebut tidak ada, maka batubara dan manusiapun tidak dapat membuat kesibukan. Selanjutnya, ruang-ruang tersebut pun ternyata berasal dari ruang lain yang lebih besar, yaitu menara. Perhatikan kutipan berikut.

“Jika anda datang ke kota ini, maka berdirilah di salah satu puncak bukitnya. Anda akan lihat sebuah menara yang menjulang tinggi hampir sejajar dengan puncak bukit itu. Sebenarnya bukanlah sebuah menara karena akan Anda lihat di puncaknya asap hitam pekat mengepul ke udara. Ya, itu sebuah cerobong asap dari Bungker Power Plan milik Belanda. Persis di bawah cerobong asap itu terdapat sebuah gudang tungku batu bara yang besar, dipergunakan untuk membuat senjata dan mesiu, tetapi sering juga digunakan untuk membuat peralatan tambang” (Anugrah, 2012: 22).

 Ruang menara, yaitu Bungker Power Plan, ini mendukung bahkan menjadi pusat keriuhan kota dan kondisi alam yang panas. Di puncaknya terdapat asap hitam pekat mengepul ke udara. Menara ini kemudian menjadi ruang yang menimbulkan kekacauan kota dan udara. Di dalam menara tersebut, terdapat ruang-ruang yang lain, yaitu gudang tungku batubara yang berukuran besar dan luas. Gudang ini dipergunakan untuk membuat senjata dan mesiu, juga peralatan tambang. Gudang ini pun menjadi tempat dimulainya segala aktivitas yang dilakukan oleh tubuh.

Selain itu, di dalam cerpen ini terdapat ruang publik, yang dinamakan dengan Goedang Ransoem. Ruang ini adalah sebuah dapur umum tempat memasak makanan para pekerja tambang atau kuli kontrak. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tubuh kuli kontrak dan tubuh para pekerja yang lain bergantung pada eksistensi ruang ini. Di dalam ruangan inilah tokoh Mak bekerja. “Mak bekerja dengan kuali-kuali yang berukuran besar dan sendok-sendok yang sangat panjang” (Anugrah, 2012: 23—24). Ruang ini adalah satu-satunya ruang yang bebas dimasuki oleh siapapun. Di ruang ini pulalah keluarga-keluarga kuli kontrak lainnya sering berkumpul untuk makan siang.

Di sisi lain, cerpen ini menghadirkan ruang lain yang berkebalikan dengan ruang kota, yaitu perbukitan. Perbukitan ini dengan sendirinya menjadi oposisi kota. Perbukitan adalah tempat dimana tokoh saya menghabiskan waktunya ketika ia telah berputus asa dalam pencarian tokoh bapak. Ketika tokoh saya tak lagi mampu menerima keadaan ruang kota, ia beralih pada ruang lain yang berjarak dengan ruang kota tersebut. Dengan kata lain, perbukitan merupakan ruang alternatif. Di atas perbukitan ini, tokoh saya dapat melihat kondisi yang terjadi di kota. Hal terseut tergambar pada kutipan berikut ini.

“Entah kemana saya harus mencari. Hingga hari-hari saya pun kini lebih banyak saya habiskan di puncak bukit yang mengurung kota ini. Oh, menara itu, cerobong asap itu, yang tegak menjulang di tengah kota. Asapnya terus mengepul. Pekat. Hitam. Mengingatkan saya kepada Bapak” (Anugrah, 2012: 30).

 Dalam pada itu, terdapat ruang antara yang menghubungkan perbukitan dan kota, yaitu jalan setapak yang berada di lereng bukit. Jalan ini pula yang menghubungkan tokoh saya dengan kenangan terhadap tokoh bapak. Akan tetapi, jalan setapak ini tidak berhasil menjadi penghubung atau jalan yang sebenarnya. Ia dihalangi oleh ruang lain, yaitu pintu. Pintu dalam cerpen ini memang bersifat ‘pilih kasih’, ia menjadi ruang pembuka sekaligus ruang penghalang. Ia menjadi pembuka ketika berhadapan dengan tubuh-tubuh kuli kontrak dan tuan Belanda. Sebaliknya, ia menjadi penghalang jika berhadapan dengan tubuh yang ‘meresisten’ kuli kontrak dan tuan Belanda. Pintu, dengan demikian, mendukung kolonialisme daripada perlawanan terhadapnya.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ruang kota adalah ruang yang membelenggu tubuh. Lebih dari itu, kesibukan-kesibukan yang terjadi di ruang kota tersebut berada di alam mimpi, masa lalu. Ruang-ruang tersebut dihadirkan sangat membelenggu, mendukung dan mengkondisikan keterjajahan para kuli kontrak. Sebaliknya, ruang kota tersebut adalah ruang yang diinginkan oleh pihak Belanda karena memungkinkannya untuk mengawasi dan mengeksploitasi tenaga kuli kuli kontrak untuk memperoleh batubara. Hal inilah yang menjadikan tubuh mencari alternatif-alternatif lain yang mampu ‘membebaskan tubuh’, misalnya pasar malam[1] dan perbukitan. Keberadaan perbukitan sebagai oposisi ruang kota semakin melegitimasi bahwa ruang kota bukanlah ruang yang nyaman bagi keluarga kuli kontrak.

 

Dimensi Tubuh

Cerpen ini menghadirkan relasi antara pekerja kuli kontrak dengan tuannya, yaitu seorang pendatang dari Jawa dengan orang Belanda, di Sawahlunto. Representasi ruang kota Sawahlunto yang telah dikemukakan di muka berpengaruh besar terhadap keberadaan tubuh. Ruang tersebut adalah arena tubuh untuk melakukan berbagai aktivitas. Tubuh yang dihadirkan dalam cerpen ini, antara lain: Saya/aku, Bapak, Mak, Polisi Belanda, Opsir Pribumi (Samin dan Amaik), Van Hoeze, De Greve, Guru, Murid, dan Kepala Bagian Administrasi.

Selain memandang manusia sebagai makhluk sosio-kultural, cerpen ini juga memandang manusia sebagai makhluk biologis. Gambaran mengenai tubuh dalam cerpen ini terkait dengan jenis pekerjaan. Misalnya, tubuh kuli kontrak digambarkan kuat dan berotot (Anugrah, 2012: 22), begitu pula dengan tubuh polisi yang digambarkan begitu kekar dan kuat (Anugrah, 2012: 30). Selain itu, dalam cerpen ini masing-masing tubuh memiliki ‘tuan’. Artinya, tubuh yang satu tunduk pada tubuh yang lain.  

Persoalan tubuh dalam cerpen ini dipandang sebagai persoalan yang tidak mudah, yang tidak dapat diatasi oleh kekuatan jiwa. Tokoh saya adalah salah satu contoh. Selama kepergian tokoh bapak, tokoh ini tidak mampu menghapus ingatan tentang bapak. Bahkan, tokoh bapak menjelma dan muncul dalam keadaan apapun. Hal ini mengindikasikan bahwa jiwa tidak mampu mengendalikan tubuh. Bahkan, suara jiwa inilah yang ‘membelenggu’ tubuh. Selain itu, dalam cerpen ini ada yang berperan sebagai tubuh colonial dan tubuh pascakolonial yang kemudian mengantarkannya pada tubuh metaforik dan metonimik.

 a.      Tubuh Bapak: Wilayah Kolonialisme

Tubuh kolonial memiliki bentuk dan lokasi yang ditentukan. Tubuh direpresentasikan sebagai objek, alat, dan bentuk pasif. Dalam cerpen ini, yang mewakili tubuh kolonial adalah tubuh bapak. Sebagai kuli kontrak, bapak digambarkan memiliki tubuh dengan struktur yang kuat. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Tubuh Bapak kekar, dengan otot-otot menyembul keluar. Kulitnya hitam legam, terbakar nyala panas bara batubara. Garis rahangnya tegas. Urat tangannya menggaris keluar seperti jalan penuh labirin. Bapak orang yang kuat dan sangat jarang sakit (Anugrah, 2012: 22–23).

 Akan tetapi, meskipun tubuh bapak kuat, tubuh bapak masih bisa dikalahkan oleh kekuatan tubuh yang lain, yang lebih kuat, yaitu mantri polisi. Mantri polisi ini menggunakan senjata yang pengerjaannya dilakukan oleh orang-orang seperti bapak. Persenjataan yang digunakan oleh mantri polisi tersebut adalah piranti yang mendukung kekuatan tubuh sehingga kekuatannya menjadi berlipat ganda. Hal ini mengindikasikan bahwa tubuh bisa dikalahkan oleh tubuh yang didukung oleh alat. Tubuh bapak memiliki tuan yang membuatnya tunduk.

Ketergantungan tubuh pada tubuh yang lain yang berkaitan dengan ruang melibatkan keberadaan rumah. Keberadaan rumah kemudian menjadi penting dalam hubungannya dengan tubuh. Bapak tidak memiliki rumah. Mereka tinggal di barak-barak yang tersusun rapi yang digambarkan sebagai berikut.

“Kira-kira sekilo dari cerobong asap arah utara terdapat barak-barak yang tersusun rapi seperti rumah-rumah petak. Di salah satu barak itu saya, Mak, dan Bapak tinggal. Bapak belum punya rumah sendiri di sini. Barak yang kami tempati milik perusahaan tambang Belanda tempat Bapak bekerja” (Anugrah, 2012: 23).

 Barak tersebut ditata dengan rapi untuk memudahkan pengawasan/pengendalian. Selain penataan yang rapi, tidak ada gambaran yang detail mengenai barak tersebut. Barak tersebut mengindikasikan bahwa yang menempatinya adalah orang yang miskin, para pekerja yang belum memiliki rumah. Mereka masih bergantung pada tubuh yang lain, yang menguasainya, yaitu pemilik tambang batubara (orang Belanda). Dialah yang sekaligus menjadi oposisi bapak. Bapak adalah buruh, sedangkan pemilik perusahaan Belanda tersebut adalah majikan. Bapak dikuasai, sedangkan pemilik tambang batubara menguasai. Ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh bapak, yang dengannya ia bisa mengikat bapak. Bapak belum punya rumah sendiri, tetapi bapak harus memiliki tempat perlindungan untuk Mak dan saya. Oleh karena itu, ia harus bergantung pada tubuh lain yang memiliki tempat perlindungan tersebut. Jika dilihat dari konsep Upstone, tubuh bapak dapat dimasukkan dalam tubuh yang metaforis. Ia dibagi, disusun, dan diawasi seperti halnya kota dan barak yang ia tempati.

Ketika berada di luar barak, tubuh terancam. Dalam kasus ini, barak beroposisi dengan pasar malam, tempat semua tubuh bisa masuk. Tidak hanya saya, Mak, dan bapak, tetapi juga semua keluarga kuli kontrak. Struktur ruang pasar malam tidak berbeda jauh dengan gudang tungku batubara dan Goedang Ransoem. Ketiganya sama-sama ruang publik, tempat bertemunya banyak orang. Selain itu, ketiganya dibangun oleh orang Belanda. Jika gudang tungku batubara dan Goedang Ransoem adalah ruang kerja, tempat tubuh bisa menjadi lelah, halnya berbeda dengan pasar malam. Pasar malam adalah ruang hiburan dan permainan. Ruang yang dinanti-nantikan.

“Kota saat ini mulai ramai, besok akan ada pasar malam. Pasar malam yang selalu rutin diadakan oleh perusahaan tambang tempat Bapak bekerja setiap minggu pertama di awal bulan, yang berlangsung selama seminggu penuh, semacam perayaan untuk para kuli kontrak setelah menerima gaji. Inilah yang selalu saya nanti-nantikan. Berbagai macam hiburan dan permainan akan meramaikannya, seperti buayan kaliang atau bianglala, komedi putar, dan sirkus” (Anugrah, 2012: 27—18).

“Tentu saja tidak hanya saya yang senang dengan adanya pasar malam di kota ini, semua orang senang, termasuk Bapak. Pada saat inilah satu-satunya hari luang Bapak pada satu bulan penuh dan tentu saja hari luang itu akan digunakan Bapak sepenuhnya untuk menghilangkan suntuk dari pekerjaan” (Anugrah, 2012: 28).

 Di dalam pasar malam inilah tubuh menjadi bisa ‘bergerak’, melepaskan lelah yang membelenggu. Pasar malam menjadi satu-satunya tempat yang dapat melepaskan tubuh dari himpitan hidup sehari-hari. Pasar malam merupakan ruang publik yang memungkinkan segalanya terjadi. Ia membuka peluang untuk keterbukaan, berbagai macam interaksi, kebebasan, petualangan, hiburan, tetapi juga ketakterlindungan. Akan tetapi, disini pulalah tubuh menjadi tak terjaga. Tubuh terancam serangan dari luar.

Dalam skala tertentu, pasar malam pun dijadikan alat oleh pihak Belanda untuk menjerat tubuh. Dengan adanya pasar malam, para kuli kontrak mudah menghabiskan uangnya sehingga hal ini otomatis menguntungkan pemilik tambang. Hal ini mengingat bahwa pasar malam dibuat sebagai “perayaan untuk para kuli kontrak setelah menerima gaji”. Dengan kata lain, pasar malam adalah alat untuk memelihara kontrol atas tubuh.

Selain itu, di pasar malam ini pula terjadi pembunuhan. Tempat tubuh menghilang/musnah.  Dalam cerpen ini, disebutkan bahwa bapak membunuh seorang Indo Belanda, seorang pegawai administrasi tambang, tetapi penyebab pembunuhan tidak disebutkan. Bapak membunuh/mengalahkan orang itu dengan batubara, sebuah benda yang menjadi kesehariannya, sangat dikenalnya. Itulah mengapa bapak berhasil membunuh seorang Indo Belanda hanya dengan batu bara. Bapak tidak menggunakan senjata yang memang suatu benda yang jauh darinya.  

Ketika membunuh orang Indo Belanda tersebut, bisa jadi bapak menyadari risiko-risiko yang akan ditanggungnya. Dalam hal ini, bapak sengaja melakukan hal tersebut sebagai upaya untuk memperoleh kebebasan. Upayanya itu berbentuk tindakan yang radikal. Akan tetapi, alih-alih memperoleh kebebasan, bapak justru terperosok dalam jurang yang semakin menjeratnya. Ia dijadikan sebagai orang rantai.

Fungsi rantai adalah untuk mengikat tubuh. Rantai, dalam cerpen ini, sekaligus bertindak sebagai metafor bagi tubuh yang terjajah. Oleh karena itu, orang rantai dapat dikatakan sebagai orang yang terjajah. Rantai inilah yang tidak memungkinkah tubuh untuk memberontak apalagi terlepas. Dengan demikian, keberadaan rantai pun semakin menjustifikasi kekuasaan kolonial. Selain itu, yang tidak memungkinkan bapak untuk kabur adalah dirinya yang berasal dari Jawa, dan dia tidak sendirian. Ada tubuh lain yang mengikatnya. Ia membawa Mak dan Saya. Hal ini sejajar sengan barak-barak yang disusun rapi yang tidak memungkinkan tubuh bapak untuk bersembunyi.

Akan tetapi, pembunuhan yang dilakukan oleh bapak tersebut menjadikan tubuh bapak tidak sepenuhnya kolonialis karena sudah ada upaya-upaya resistensi, meskipun tidak berhasil. Tindakan yang dilakukan oleh bapak ini tidak pernah dilakukan oleh kuli kontrak yang lain. Hal inilah yang menjadikan mereka tercengang.

Oh, semua orang hening, menatap bapak yang berdiri terpaku di tengah, tangannya menggenggam pecahan batubara yang berlumuran darah. Dan di sampingnya, terbujur seorang Indo Belanda. Kepalanya pecah. Mengeluarkan darah (Anugrah, 2012: 29).

 

Segala peristiwa yang dialami oleh bapak ini terjadi di mimpi tokoh saya. Dengan adanya mimpi inilah tubuh bapak tidak hilang sepenuhnya. Ia masih diingat terus-menerus karena masih dating melalui mimpi-mimpi.

 b.      Tubuh Saya: Menuju Resistensi

Tubuh pascakolonial bukanlah entitas yang otonom, melainkan sudah ditandai dengan masa lalu kolonial sehingga tubuh dapat didefinisikan ulang. Cerpen ini mengungkapkan bahwa eksistensi kota bergantung pada eksistensi manusia di dalamnya. “Kota ini ada dan berkembang karena adanya kami” (Anugrah, 2012: 23). Yang dimaksud dengan “kami” adalah orang-orang Jawa yang menjadi kuli kontrak batubara di Sawahlunto. Hal ini mengindikasikan bahwa tubuh merupakan sebab keberadaan entitas yang lain. Akan tetapi, untuk menjadi eksis, tubuh ini pun sangat bergantung pada ruang yang lain, yaitu Goedang Ransoem, seperti yang sudah dijelaskan di muka.

 “Di gudang itu saya dapat masuk dengan bebas. Gudang itu hanya dijaga dua orang opas pribumi dengan pentungan di pingganggnya, Samin dan Amaik namanya” (Anugrah, 2012: 24). Di sini diperlihatkan dengan jelas mengapa tubuh tokoh aku dapat bergerak bebas. Yang menjaga Goedang Ransoem adalah seorang opas pribumi yang hanya menggunakan kentungan, tubuhnya tidak dilengkapi oleh senjata yang berbahaya atau mematikan. Selain itu, opas tersebut adalah seorang pribumi yang oleh tokoh saya diketahui namanya, yaitu Samin dan Amaik. Terteranya nama diri tersebut disebabkan tubuh tokoh saya yang dekat dan akrab dengan keduanya, mereka adalah orang pribumi. Dengan kata lain, tubuh tokoh saya hanya mengenal yang pribumi.

Halnya berbeda dengan tempat kerja bapak. Di tempat kerja tersebut, tubuh tidak dapat bebas keluar masuk karena dijaga oleh dua orang polisi Belanda yang bersenjata. Ketakterjangkauan ruang itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, tubuh tokoh saya tak akrab dengan tubuh yang berbeda dengan dirinya sehingga menjadi asing dan timbul keberjarakan. Oleh sebab itulah ia tak mengenalnya, tak menyebutkan namanya. Barangkali ditambah pula dengan nama Belandayang  terlalu sulit untuk diucapkan lidah pribumi. Kedua, tubuh yang berbeda tersebut dilengkapi dengan senjata, piranti lain yang membuat tubuh tersebut semakin terasa jauh. Polisi Belanda tersebut sengaja diletakkan di tempat bekerja tubuh Bapak agar pekerja-pekerja di buat asing dengan tubuh yang berbeda tersebut sehingga tidak terjadi negosiasi. Lagi pula, tubuh tersebut dilengkapi dengan senjata dengan laras panjang yang akan semakin menimbulkan ketakutan.

Namun, ketika tubuh tokoh aku tidak dapat masuk karena ada pintu yang dijaga, terdapat ruang alternatif yang memungkinkan tubuh saya dapat memasuki ruang kerja Bapak. Hal ini karena “saya sering menyelinap ke sana lewat ventilasi udara gudang yang cukup besar, yang bisa meloloskan tubuh kecil-kurus”nya (Anugrah, 2012: 23) sehingga tubuh saya bisa mengetahui apa-apa yang terjadi. Ketika pintu menyaring siapa saja yang boleh masuk atau tidak, ventilasi merupakan solusi. Dalam hal ini, ventilasi adalah ruang antara, ia berperan sebagai jembatan. Ventilasi udara gudang yang cukup besar tersebut adalah ruang yang menghubungkan antara yang di luar dan yang di dalam. Ruang yang memungkinkan tubuh untuk masuk, menerobos batas yang dibuat oleh tubuh yang lain sehingga tubuh saya bisa melihat apa yang oleh orang kebanyakan tak bisa lihat.

Ventilasi tersebut memungkinkan tubuh untuk memilih masuk kedalam kondisi yang lain dan asing dengan level keterlibatan yang  ia pilih sendiri. Tubuh saya memilih untuk masuk ke dalamnya. Tokoh saya ini diuntungkan oleh struktur tubuhnya yang kecil dan kurus, ruang geraknya jadi lebih fleksibel. Ini berarti, ventilasi tersebut tidak dapat dimasuki oleh tubuh yang strukturnya tidak kecil dan tidak kurus. Bisa jadi, tubuh yang kecil dan kurus ini merupakan representasi tubuh anak-anak kuli kontrak kebanyakan, yang kurang makan. Tubuh yang kurus ini kemudian bersifat dualistik, merugikan sekaligus menguntungkan.

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, tubuh saya ini mengalami chaos. Pergerakan/pergantian dari mimpi ke nyata, masa lalu ke masa kini, inilah yang menjadikan tubuh saya mengalami kegagapan.

“Aku pusing. Kemudian semuanya seperti berputar. Terus berputar. Murid yang lain kemudian mendekatiku. Guru itu, juga berjalan ke arahku. Semakin dekat, mereka semakin membesar. Kemudian aku mulai menangkap dengungan di telingaku. Seperti lebah. Terus mendengung. Wajah mereka mengerubungiku. Lebah-lebah itu telah mendapat mangsanya. Kemudian, suara-suara itu kembali. Aku kembali dapat mendengar mereka. Tapi suara-suara melengking, memekakkan. Mereka berteriak-teriak di depanku, membuka mulutnya besar-besar” (Anugrah, 2012: 26).

 Di masa lalu, ia adalah tubuh yang sedikit banyak telah mengalami keterjajahan fisik. Di masa lalu, ketika bapak dihilangkan atau dijadikan sebagai orang rantai, ia sudah melawan, tetapi gagal. Dampak dari kegagalan tersebut ia rasakan sampai masa kini. Hal inilah yang menjadikannya berada pada posisi antara, ambivalen. Iniah yang disebut sebagai tubuh yang metonimik. Ia tak bisa disebut sebagai tubuh pascakolonial yang sepenuhnya cair karena ia tidak sepenuhnya resisten, tetapi juga tidak sepenuhnya terjajah. Di satu sisi, ia ingin melawan (dan telah melakukan perlawanan terhadap) benteng yang membelenggu tubuhnya dan tubuh bapak, tetapi di sisi lain ia sadar bahwa keinginannya tersebut tidak mungkin dicapai. Dalam skala tertentu, tubuhnya tidak mampu melampaui tubuh penghadangnya. Karena sebenarnya di masa kini, di dunia nyata, ia adalah orang rantai. Ia mengulang apa yang dialami oleh bapak.

“Tidak!” Aku terbangun. Mimpi itu lagi. Oh, mimpi dalam mimpi. Benarkah? Ketakutan itu. Aku mencoba bangkit dari tempat tidurhendak membasuh muka. Menghilangkan rasa takut. Namun, rasanya tubuh ini nyeri digerakkan. Kuperiksa tubuhku; perut, dada, dan punggungku memar seperti bekas cambukan. Kakiku, terasa berat dilangkahkan dan dipergelangan kakiku memar bekas dirantai. Pergelangan tanganku juga memar dan sulit digerakkan. Aku sulit bernapas. Napasku sesak, seperti ada yang mencekik. Kuraba leher ini, memar, perih, kulitnya lunak. Aku semakin tercekik. Oh aku ingat cerita guru itu; orang rantai. Apakah aku? Darahku serasa habis. Kemudian gelap. Kelam” (Anugrah, 2012: 31).

 

Ada metafor penting yang digunakan oleh cerpen ini dalam menggambarkan tubuh saya, yaitu sungai, anjing, dan patung. Ketika tokoh saya hendak menemui Bapak, ia dihadang oleh dua orang polisi yang serta merta melemparkan tokoh aku ke sungai “seperti bangkai anjing”. Kemudian tokoh saya “keluar dari sungai. Kemudian kembali berlari ke Bunker. Polisi itu kembali menyeret dan melemparkan saya ke sungai” (Anugrah, 2012: 30—31). Selain itu, rupanya sungai pulalah yang menjadi muara dari pencarian yang dilakukan oleh tokoh saya. Menurut berita dari opas pribumi, tubuh bapak dijadikan sebagai orang rantai di Sungai Durian. Dengan kata lain, sungai menjadi tempat bertemunya tubuh kolonial dan tubuh poskolonial. Dalam hal ini, tubuh tokoh saya dapat diandaikan sebagai sungai, yang alirannya deras. Meskipun dilempar kesana kemari, tubuh ini tetap mengalir kendati tak juga berhasil. Hal inilah yang membedakannya dengan tubuh-tubuh yang lain.

Tubuh masa kini, yang berada di kelas, dalam kaca mata tubuh saya adalah diandaikan seperti patung. Meskipun berada di masa kini, tubuh-tubuh ini pun hanya berperan sebagai patung sehingga membuat tubuh saya selalu gelisah.

“Tidak! Aku tidak tuli!” Aku berteriak, tapi teriakanku lagi-lagi seperti dibungkam. Redam di udara. Tak ada yang mendengar—guru masih menerangkan di depan dan murid yang lainnya, mereka seperti patung dengan tangan terlipat di atas meja, tak bergerak sedikitpun, tak berkedip sedetik pun (Anugrah, 2012: 25).

 Keberadaan tubuh yang tak kalah pentingnya adalah tubuh Mak. Cerpen ini menempatkan tubuh perempuan berada di wilayah antara. Ialah yang menghubungkan tubuh bapak dan tubuh saya. Hal ini disebabkan ketika bapak dibawa oleh mantra polisi karena pembunuhan yang dilakukannya, Mak sellau murung. Makin hari Mak makin kurus dan pucat. Mak kemudian menyuruh ‘saya’ untuk mencari bapak. Kondisi inilah yang mendorong tubuh saya untuk melakukan pencarian terhadap tubuh bapak. Membawa tubuh bapak pulang.

 

Kesimpulan

Tubuh dalam cerpen “Orang Rantai” dibagi menjadi tiga. Pertama, tubuh bapak yang dihadirkan sebagai wilayah kolonialisme. Akan tetapi, ia tidak sepenuhnya terkolonialisasi. Sudah ada upaya untuk keluar dari tubuh-tubuh lain yang membelenggunya. Kedua, tubuh saya. Dari awal, ia adalah tubuh yang berusaha untuk meresistensi, meskipun ia terombang-ambing dalam wilayah chaos yang dialaminya. Akan tetapi, ia pun tak sepenuhnya resisten. Ada benteng-benteng tertentu yang tak mampu diterobosnya karena ia adalah bagian dari benteng tersebut sehingga hal ini menempatkannya pada posisi yang ambivalen. Di masa kini, ia mengulang apa yang dialami oleh bapak. Ia dijadikan sebagai orang rantai. Ketiga, tubuh Mak. Secara tidak langsung, tubuh Mak adalah tubuh yang terjajah. Ia menanggung beban berat atas apa yang terjadi pada bapak. Tubuh Mak ini pulalah yang menghubungkan antara tubuh bapak dan tubuh saya.

Tubuh lain yang dihadorkan tubuh ini adalah tubuh yang menghalangi dan tubuh yang mendukung ketiga tubuh di atas. Tubuh yang menghalangi adalah tubuh pemilik tampang, yaitu orang-orang Belanda dan mantri polisi Belanda. Mereka adalah orang “asing” dan “tak terjangkau”. Adapun tubuh yang membantu adalah opas pribumi, yaitu Samik dan Amain. Kedua tokoh inilah yang memberikan ‘jalan’ bagi ketiga tubuh di atas. Yaitu jalan penunjuk dimana sebenarnya tubuh bapak berada.

Keberadaan tubuh-tubuh tersebut dipengaruhi oleh ruang-runag yang melingkupinya. Ruang yang disusun oleh  pihak Belanda telah menjadikan tubuh tak mampu keluar dari jeratannya. Akan tetapi, dalam ruang-ruang tersebut terdapat ruang-ruang alternatif sebagai bentuk penerobosan terhadap ruang yang membelenggu tersebut.

 

 

Daftar Pustaka

Anugrah, Pinto. 2012. “Orang Rantai” dalam Kumis Penyaring Kopi. Yogyakarta: ning.

Usptone, Sara. 2009. Spatial Politics in The Postcolonial Novel. England: Ashgate Publishing Limited.   


[1] Pembahasan mengenai pasar malam ada di bab selanjutnya

02
Feb
13

teori pascakolonialisme Homi K. Bhabha: ontologi dan epistemologinya

:sebuah penjelajahan awal

oleh: Anis Mashlihatin

Kajian Homi K. Bhabha selain banyak dipengaruhi oleh teoretisi pascastrukturalis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Jacques Lacan juga mendapat pengaruh dari tokoh-tokoh seperti Franz Fanon dan Edward W. Said.[1] Beberapa konsep teori pascakolonialisme Bhabha, antara lain: stereotipe, mimikri, hibriditas, dan ambivalensi.

Dalam kajiannya, Bhabha mengkritisi model oposisi biner tentang hubungan-hubungan kolonial seperti yang dikemukakan oleh Edward Said dan Franz Fanon. Said berfokus pada wacana penjajah, sedangkan Fanon pada wacana terjajah. Keduanya menganggap bahwa posisi antara penjajah dan terjajah adalah terpadu dan stabil, juga berbeda dan bertentangan satu sama lain. Sementara konsep-konsep Bhabha menegaskan bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen satu sama lain. Relasi-relasi kolonial itu distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka dan kontradiktif. Menurut Bhabha, antara penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya untuk berinteraksi. Di antara keduanya terdapat ruang yang longgar untuk suatu resistensi.[2]

Konsep kunci Bhabha untuk menjelaskan hubungan antara penjajah dan terjajah adalah dalam konsep time-lag-nya (yang pertama kali muncul pada tahun 1990), yaitu “sebuah struktur keterbelahan dari wacana kolonial”. Kondisi terbelah/terpecah ini menjadikan subjek selalu berada pada the liminal space between cultures, di mana garis pemisah tidak pernah tetap dan tidak dapat diketahui batas dan ujungnya.

Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk mendeskripsikan suatu “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung, yaitu ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dikembangkan. Dapat dilihat pula sebagai suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-beda yang terus menerus. Semua ungkapan dan sistem budaya tersebut dibangun dalam sebuah ruang yang disebut “ruang enunsiasi ketiga”.[3]

Selanjutnya, ketegangan antara penjajah dan terjajah menghasilkan apa yang disebut dengan hibriditas.[4] Hibrid secara teknis dipahami sebagai persilangan antara dua spesies yang berbeda. Dalam hal ini, hibriditas mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya berbeda, yang suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri.

Hibriditas di lingkungan kolonial dapat berfungsi sebagai sarana untuk mendefinisikan medan baru yang bebas drai ortodoksi rezim kolonial maupun identitas-identitas nasionalis bayagan yang harus menggantikannya. Hibriditas, misalnya, dapat dilihat pada pengadopsian bentuk-bentuk kebudayaan seperti pakaian, makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk perpaduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini ditempatkan dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial.[5]

Strategi hibriditas ini dapat ditempuh dengan cara mimikri.[6] Mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektivitas penjajah di lingkungan kolonial yang sudah ‘tidak murni’, tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme. Tindakan mimikri ini kemudian dapat dipahami sebagai akibat dari retakan-retakan dalam wacana kolonial. Baik bagi penjajah maupun terjajah, tindakan mimikri ini menghasilkan efek-efek yang ambigu dan kontradiktif.

Oleh karena itu, identitas hibrida dari tindak mimikri ini tidak pernah benar-benar terkendali atau dapat dikendalikan oleh otoritas kolonial karena terdapat ambivalensi dalam wacana kolonial. Bagi Bhabha, kehadiran kolonial selalu bersifat ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan. Ambivalensi diturunkan dari ranah psikoanalisis yang digunakan untuk menggambarkan fluktuasi yang terus-menerus antara menginginkan sesuatu hal dan menginginkan kebalikannya. Dalam diskursus pascakolonial, ambivalensi berkembang menjadi sebuah konsep yang berupaya untuk menjelaskan keragaman pilihan-pilihan yang ditawarkan pada subjek-subjek kolonial bagi pembentukan identitas. Ambivalensi mengacu pada hakikat yang tidak stabil, berlawanan, dan tidak identik dari wacana kolonial.

Ambivalensi inilah yang menyebabkan mimikri yang dilakukan oleh masyarakat terjajah tidak pernah penuh karena sifat keambiguan wacana kolonial. Oleh karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai subjek terjajahnya dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam, bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial tidak harus berarti kepatuhan masyarakat terjajah kepada penjajahnya.

Pada level tertentu, tindakan mimikri tersebut dapat pula menjadi suatu olok-olok (mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan secara sepenuhnya pada model yang ditawarkan oleh penjajah. Mimikri sebagai wacana yang ambivalen ketika di satu pihak membangun persamaan, tetapi di lain pihak juga mempertahankan perbedaan. Budaya dari penjajah tidak hanya dapat ditiru, tetapi juga dapat dipermainkan. Mimikri kemudian dapat dipahami sebagai suatu proses yang dipaksakan oleh penjajah tapi dengan pura-pura (bahkan sambil berbohong) diterima oleh terjajah sehingga menghasilkan keadaan yang oleh Bhaha disebut dengan almost the same, but not quite.

Selanjutnya, dalam upaya untuk mengalihkan fokus dari analisis wacana kolonial ke dalam formasi identitas, efek psikis yang mempengaruhi dan beroperasi dari bawah sadar, Bhabha menggunakan konsep Lacan. Bagi Bhabha, identitas hanya mungkin dalam penolakan terhadap segala pengertian mengenai orisinalitas atau plenitude melalui prinsip displacement dan diferensiasi.

Wilayah psikis yang tidak stabil dari relasi kolonial salah satunya dapat dilihat dari kerja stereotipe kolonial. Stereotipe adalah representasi dan penilaian yang pasti dan tanpa kompromi terhadap orang lain. Ia adalah bentuk representasi kultural yang kaku dan menciptakan jarak di antara manusia. Stereotipe ini mencakup idealisasi yang selektif terhadap liyan. Stereotipe dimonopoli oleh orang-orang yang memiliki sedikit kekuasaan dan status dalam masyarakat. Pihak yang menjadi objek penstereotipan kemudian berfungsi sebagai kambing hitam bagi perasaan frustasi, tidak senang, dan kemarahan dari pihak yang berkuasa. Lebih lanjut, stereotipe adalah dasar legitimasi penguasa kolonial. Penstereotipan adalah muara dari struktur tata kelola yang penuh prasangka dan diskriminatif.

Bhabha berfokus pada upaya menantang segala pembicaraan mutakhir mengenai ekonomi psikis dari stereotipe.[7] Bhabha menafsir rezim stereotipe sebagai bukti bukan dari stabilitas mata disipliner penjajah, atau rasa aman dari konsepsi mereka mengenai diri mereka sendiri, melainkan bukti dari derajat pada identitas penjajah sesungguhnya terpecah dan terdestabilisasikan oleh respons-respons psikis yang kontadiktif terhadap liyan yang terjajah.

“The Other Question” bermula dari pengamatan terhadap ketergantungan wacana kolonial pada konsep fiksitas dalam representasi atas identitas yang tidak pernah berubah dari masyarakat yang menjadi subjeknya. Misalnya, stereotipe mengenai lustful Turk atau noble savage. Akan tetapi, bagi Bhabha, terdapat efek bertentangan dalam ekonomi stereotipe sejauh apa yang seharusnya sudah diketahui ternyata harus secara terus-menerus diyakinkan kembali melalui repetisi. Hal ini menegaskan adanya kekuarangan (lack) dalam jiwa penjajah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa yang menjadi dasar ontologis konsep-konsep pascakolonialisme Bhabha adalah prinsip displacement dan kondisi rupture. “Keterpecahan-keterpecahan” wacana kolonial inilah yang kemudian membawa subjek pada realitas yang liminal. Realitas liminal ini mencakup di dalamnya hibriditas, mimikri, ambivalensi, bahkan mockery. Kondisi tersebut secara keseluruhan ditempatkan dalam sebuah situasi yang oleh Bhabha disebut “lokasi kebudayaan”, sebuah wilayah antara yang di satu pihak ingin bergerak keluar dari kekinian masyarakat dan kebudayaan kolonial dan di lain pihak tetap terikat pada dan berada dalam lingkungan kekinian itu.

Untuk melihat kemungkinan-kemungkinan tersebut, metode yang digunakan adalah dekonstruksi. Metode ini sekaligus menjadi dasar epistemologis konsep-konsep pascakolonialisme Homi K. Bhabha. Metode ini beroperasi setidaknya dengan dua cara. Pertama, melakukan analisis terhadap wacana terjajah untuk menemukan kecenderungan kesatuan tematiknya, asumsi-asumsi dasarnya, dan sekaligus menemukan sarana-sarana retorik yang digunakannya yang mungkin bertentangan dan dapat menunda dan membuat asumsi-asumsi dasar itu ruptured (terpecah). Kedua, melakukan analisis terhadap subjek yang dimarjinalkan untuk mendesentralisasi kesatuan tematik wacana dominan.

 

Bahan Bacaan:

Bhaba, Homi. K. 2007. The Location of Culture. Cetakan ke-5. London, New York: Routledge.

Moore-Gilbert, Bart. 1997. Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics. London, New York: Verso.

Foulcher, Keith dan Tony Day. 2002. Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.

Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indoensia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1] Berdasarkan tulisan-tulisan Bhabha yang terkumpul dalam The Location of Culture (1994), Bart Moore-Gilbert dalam Postcolonial Theory: Contexts, Practices, Politics (1997) membagi dua fase besar dalam karier Bhabha. Pertama, sekitar tahun 1980—1988 Bhabha berfokus pada analisis wacana kolonial. Berbeda dengan Said yang berfokus pada Timur Tengah, Bhabha –seperti Spivak- berfokus pada pertukaran budaya dalam sejarah pemerintahan Inggris di India. Kedua, sejak tahun 1988 Bhabha lebih memberikan perhatian pada konsekuensi kultural dari neo-kolonialisme di era kontemporer dan hubungan yang sering konfliktual antara wacana pascakolonialis dan postmodernisme.

[2] Akan tetapi, resistensi tidak lantas berarti tindak oposisional atau negasi yang murni. Pada dasarnya, resistensi tidak pernah dengan mudah dapat dijelaskan karena ia bersifat khusus, tidak lengkap, dan ambigu. Hal inilah yang kemudian menjadikan identitas kolonial itu tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah.

[3] Ruang ketiga ini dianalogikan oleh Bhabha (2007: 5)  seperti karakter arsitektur tangga-hubung karya Reene Green yang memiliki roda yang mengalir antara ruang atas dan ruang bawah.

[4] Bhabha kembali pada Fanon untuk mengemukakan bahwa keambangan (liminalitas) dan hibriditas adalah atribut-atribut yang diperlukan dari kondisi kolonial. Bagi Fanon, trauma kejiwaan muncul ketika subjek kolonial menyadari bahwa dia tidak akan pernah memperoleh sifat putih sebagaimana dia dididik untuk memperolehnya, atau melepaskan kehitaman yang dia telah dididik untuk meremehkannya.

[5] Hibriditas ini lebih lanjut dikembangkan oleh Robert J. C. Young dalam Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (1995) menjadi hibriditas organik dan hibriditas intensional. Jacqueline Lo dan Helen Gilbert dalam “Postcolonial Theory: Possibilities and Limitation” (1998) membagi hibriditas menjadi tiga, yaitu: hibriditas terkooptasi, hibriditas tersembunyi, dan hibriditas intensional.

[6] Konsep mimikri pertama kali digagas oleh Franz Fanon dalam Black Skin, White Mask (1952) yang mengatakan bahwa orang-orang yang dijajah, yang awalnya dipaksa untuk meninggalkan anggapan tradisional tentang jati diri dan identitas nasional, kemudian mulai belajar untuk mengadaptasi identitas mereka dengan identitas tuan mereka.

[7] Dalam “The Other Question”, Bhabha mengkritik analisis Stephen Heath tentang representasi perbedaan kelas dalam film A Touch of Evil.

18
Jun
12

Kolonialisme dalam Beberapa Wajah

Image

-Anis Mashlihatin-

Judul Asli        : Dalam Bayang-Bayang Kolonialisme, Filologi dan Studi Sastra

Penulis           : Sudibyo

Penerbit         : Unit Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tebal              : 301 Halaman

Sejatinya, kolonialisme di Indonesia belumlah berakhir, hanya berganti wajah. Masyarakat pascakolonial di negara-negara bekas jajahan dihadapkan pada kondisi yang serba ambigu. Di satu sisi mereka hidup dalam warisan sistem kolonial yang terlanjur mengakar, tetapi di sisi lain mereka ingin resisten.

Hal ini pulalah yang ingin dikemukakan oleh Sudibyo dalam bukunya yang dibagi menjadi dua belas bab dalam enam bagian besar ini. Kedua belas bab ini sebenarnya adalah mozaik terpisah, tetapi kemudian disatukan oleh satu tema pokok, yaitu kolonialisme. Adapun yang menjadi konsentrasi Sudibyo dalam pembahasan kolonialisme tersebut adalah persoalan-persoalan dalam bidang filologi dan sastra.

 Ideologi Kolonialisme dan Pertemuan Kolonial

Kita tahu, filologi di Indonesia tumbuh dan berkembang dalam tradisi orientalisme. Pada masa itu, para filolog membuat batasan yang tegas antara Barat dan Timur sehingga filologi seringkali digunakan sebagai mesin hasrat kolonial. Menghadapi hal tersebut, menurut Sudibyo, diperlukan adanya upaya kartografi hasil kajian filologi serta mempertimbangkan ulang tradisi suntingan teks atau kritik teks. Dengan kata lain, dekolonisasi metode penelitian filologi mendesak untuk dilakukan.

Selanjutnya, pertemuan-pertemuan antara pihak penjajah dan terjajah memunculkan berbagai wacana kolonial. Dalam hal ini, Sudibyo melihatnya dalam beberapa tokoh yang terlibat dengan “tuan-tuan” kolonial, misalnya, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan Rafles; Ranggawarsita dan C.F. Winter; dan beberapa Raja Nusantara pada penguasa Eropa yang kesemuanya menggambarkan hubungan antara “diri” dan “liyan”.

Selain itu, Sudibyo juga memaparkan wacana kekuasaan dan negara yang diambil dari Babad Tanah Jawi, Hkayat Raja-Raja Pasai, dan Hikayat Hang Tuah yang ketiganya membentuk wacana tunggal, yaitu, Raja sebagai penguasa yang memiliki kesaktian luar biasa. Baik di Jawa maupun Melayu.

Masih dalam bidang filologi, Sudibyo kemudian menjelaskan fenomena pernaskahan dan perteksan dalam tradisi sastra Melayu klasik. Naskah-naskah tersebut antara lain Hikayat Banjar, Hikayat Muhammad Hanafiyah, Hikayat Sri Rama, Hikayat Indraputra, dan Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Dalam naskah-naskah tersebut dapat dilihat bahwa proses transmisi mutlak diperlukan guna memahami fenomena pernaskahan dan perteksan itu sendiri.

Wacana Kolonial dalam Sastra

Wacana kolonial hampir selalu bersinggungan dengan subjek terjajah. Dalam hal ini, kaum bumiputra selalu dihadapkan pada posisi itu. Di bagian ini ada laporan perjalanan Van Goens yang dinilai berat sebelah karena terlahir dari prasangka-prasangka stereotipe. Dalam banyak hal, laporan-laporan perjalanan inilah yang seringkali menjadi acuan Barat untuk mendeskripsikan Timur. Bahkan, laporan perjalanan merupakan cikal bakal munculnya cerita-cerita perjalanan yang bertumbuh dari tradisi sastra Eropa.

Selain laporan perjalanan tersebut, karya sastra juga memegang kendali. Bab Citra Kuli di Deli dalam Novel Berpacu Nasib di Kebun Karet, Kuli, dan Doekoen Karya Madelon Szekely-Lulofs menghadirkan analisis yang tajam mengenai komunitas diaspora kulit putih yang disandingkan dengan nasib para kuli atau orang-orang yang terpinggirkan. Ketiga novel ini menambah daftar panjang karya sastra Hindia-Belanda yang menjustifikasi eksploitasi dan kekuasaan.

Yang juga tak luput dari pandangan Sudibyo adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam tetralogi ini, Sudibyo menitikberatkan pada persoalan nasionalisme. Tetralogi Buru dianggap sebagai novel bildungsroman. Selain itu, Tetralogi Buru pun berhasil mengungkap persoalan bangsa dan antarbangsa secara kuat.

Selain novel, salah satu cerpen Y.B Mangunwijaya juga menjadi perhatian Sudibyo. Cerpen Saran “Groot Mayot” Prakoso mengungkap pola hubungan hegemoni dan resistensi masyarakat pascakolonial. Melalui cerpen tersebut terlihat bagaimana Mangunwijaya secara konsisten melakukan asketisme intelektual. Menurut Sudibyo, Mangunwijaya mampu menciptakan distansi dan bersikap kritis terhadap situasi. Ia mampu keluar dari segala keterikatan serta segala dominasi sosial terhadap dirinya.

Buku ini merupakan salah satu referensi yang bagus dalam studi-studi kolonialisme dan poskolonialisme. Sudibyo menggali secara mendalam dan memberikan cara pandang yang berbeda terhadap persoalan-persoalan sastra dan filologi. Menariknya, dalam buku ini daftar pustaka dihadirkan per bab. Namun, sayangnya, dalam buku ini masih begitu banyak kata maupun tanda baca yang luput dari perhatian editor sehingga cukup mengganggu. Sayangnya lagi, buku ini hanya dicetak terbatas sehingga kekayaan pengetahuan Sudibyo mengenai persoalan kolonialisme dan poskolonialisme pun agak sulit dijangkau.

21
Jan
12

Hibriditas, Mimikri, dan Ambivalensi dalam Novel De Winst Karya Afifah Afra

oleh Anis Mashlihatin

Pascakolonialisme: Hibriditas, Mimikri, dan Ambivalensi

Pascakolonialisme dalam kajian sastra dipahami sebagai strategi bacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasi adanya tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut (Day, 2008: 3). Wacana pascakolonialisme tidak hanya berkisar pada teks-teks sastra yang terbit pada masa kolonial, tetapi lebih kepada teks-teks sastra yang mewacanakan atau menampilkan jejak-jejak kolonialisme.

Karya sastra merupakan lahan subur dalam usaha menggali wacana-wacana kolonialisme karena karya sastra merupakan tempat bertemunya ideologi-ideologi. Karya sastra yang ditulis oleh pihak penjajah maupun terjajah dalam prosesnya seringkali menyerap, mengambil, dan menulis aspek-aspek dari budaya lain serta menciptakan genre, gagasan-gagasan, dan identitas baru. Dengan demikian, karya sastra merupakan sarana penting untuk mengambil, membalikkan, atau menantang sarana-sarana dominan penggambaran dan ideologi-ideologi kolonial (Loomba, 2003: 92—93).

Salah satu situs kunci yang dapat digunakan dalam analisis kajian sastra pascakolonial adalah hibriditas. Hibriditas adalah istilah yang dipakai untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya yang berbeda yang dapat menghasilkan pembentukan budaya dan identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri (Day, 2008: 12). Akan tetapi, dalam kajian pascakolonial hibriditas mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk paduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini dan penempatannya dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial (Day: 22008:13).

Hibriditas memicu timbulnya mimikri. Dalam kajian pascakolonialisme, konsep mimikri diperkenalkan oleh Homi K. Bhaba. Menurut Bhaba (dalam Foulcer, 2008: 105), yang dimaksud dengan mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektifitas Eropa di lingkungan kolonial yang sudah tidak murni, yang tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam cahaya sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme. Sebenarnya, mimikri lebih dekat dengan olok-olok. Resistensi dapat berupa mimikri yang akan memunculkan olok-olok.

Selain itu, mimikri disebabkan adanya hubungan yang ambivalen antara penjajah dan terjajah. Sikap ambivalensi ini dipicu oleh adanya kecintaan terhadap suatu hal sekaligus membencinya. Menurut Bhabha ambivalensi tidak hanya dapat dibaca sebagai petanda trauma subjek kolonial, melainkan juga sebagai ciri cara kerja otoritas kolonial serta dinamika perlawanan. Selanjutnya, Bhabha juga mengungkapkan bahwa kehadiran kolonial itu selalu ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan. Dengan kata lain, identitas kolonial itu tidak stabil, meragukan, dan selalu terpecah (Loomba, 2003: 229—230).

Adapun karya sastra yang menampakkan aspek hibriditas, mimikri, dan ambivalensi adalah De Winst karya Afifah Afra. De Winst adalah novel pertama dari (rencana) tetralogi De Winst. De Winst pertama kali diterbitkan pada 2008.

Sekadar Sinopsis
Adalah Raden Mas Rangga Puruhita Suryanegara, seorang pemuda lulusan ekonomi universitas Leiden yang kembali pulang ke tanah airnya, Hindia Belanda. Ia adalah putra seorang pangeran di keraton Solo, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Suryanegara. Kepulangan Rangga membawa misi yang mulia, yaitu mempraktikkan ilmunya untuk membebaskan pribumi dari penindasan yang dilakukan oleh pabrik gula De Winst. De Winst, setelah dipimpin oleh Jan Meiyer Thijsse, berlaku tidak adil terhadap para pegawainya yang sebagian besar adalah bumiputra. Gaji yang diberikan kepada para pegawainya sangatlah kecil. Selain itu, perkebunan tebu yang tanahnya disewa dari penduduk juga dibayar dengan sangat murah.

Rangga bertekad untuk mengubah sistem yang sedang berlaku tersebut. Namun, perjuangan Rangga menemui banyak halangan, terutama dari pejabat tinggi De Winst yang sebagian besar adalah orang-orang Belanda. Mereka menolak dengan tegas usulan Rangga karena dianggap dapat merugikan pabrik. Perlawanan terhadap kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh De Winst tidak hanya dilakukan oleh Rangga, melainkan juga oleh Sekar Prembayun, Pratiwi, dan Jatmiko. Sekar adalah putri Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Suryakusuma. Ia memprotes keras perlakuan De Winst dengan cara menulis di surat kabar. Pratiwi adalah teman sekaligus murid Sekar. Ia adalah gadis yang ditunjuk sebagai perwakilan warga desa untuk menuntut bayaran yang lebih mahal kepada De Winst. Jatmiko adalah seorang pemuda yang “mempengaruhi” pemikiran-pemikiran Sekar dan Pratiwi. Mereka tergabung dalam Partai Rakyat.

Everdine Kareen Spinoza, istri Jan Thijsse, adalah gadis Belanda baik hati yang sangat membenci kesewenang-wenangan. Sebelum menikah dengan Thijsse, ia jatuh cinta pada Rangga. Rangga pun sebenarnya mencintai Kareen, tetapi sejak kecil telah dijodohkan dengan Sekar. Namun, perjodohan tersebut ditentang oleh Rangga maupun Sekar. Everdine, meskipun seorang Belanda, sangat bersimpati terhadap perjuangan yang dilakukan Rangga dan Sekar. Akan tetapi perjuangan mereka berakhir ketika pihak gubermen meringkus tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Partai Rakyat karena dianggap mengancam pemerintah. Mereka pun diasingkan di luar pulau Jawa.

Pakaian dan Identitas Pascakolonialisme
Pakaian adalah salah satu penanda yang paling jelas dari sekian banyak penanda penampilan luar. Pakaian dapat digunakan sebagai pembeda antara seorang yang satu dengan yang lainnya yang pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu (Van Dijk, 2005: 57). Dengan demikian, pakaian tidak hanya digunakan sebagai penutup tubuh. Pakaian adalah penanda identitas seseorang. Selanjutnya, pakaian juga dapat digunakan sebagai sarana untuk menganalisis wacana pascakolonialisme.

Pakaian yang dikenakan oleh Rangga adalah pakaian Barat (De Winst: 51). Hal yang sama juga dihadirkan pada tokoh Sekar Prembayun. Bahkan, Sekar menolak dengan tegas pakaian kebaya yang dianggapnya sangat membelenggu. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Ibu meminta saya mengenakan kain dan kebaya? Wah..wah..bisa-bisa saya jatuh karena tidak bisa menlangkah. Ibu lupa, sudah hampir 5 tahun, sejak lulus dari ELS, saya tidak mengenakan kebaya dan kain batik” (De Winst: 74).

Sungguh menarik mengetahui Rangga dan Sekar adalah orang-orang yang dibesarkan dengan tradisi keraton tetapi mereka menolak mengenakan pakaian ala keraton. Mereka adalah keturunan bangsawan-bangsawan Jawa yang mengagung-agungkan pakaiannya. Bahkan Rangga menolak dipanggil “raden mas”. Ia lebih senang dipanggil Rangga. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pendidikan yang diterima Rangga di Belanda tentunya berpengaruh besar terhadap pakaian yang dikenakannya. Demikian halnya dengan Sekar. Sekar dihadirkan sebagai gadis keraton yang suka memberontak terhadap aturan-aturan keraton. Termasuk pakaian yang dikenakannya. Pakaian yang dikenakan oleh Sekar adalah pakaian Barat. Ia “tidak mau bersusah payah memakai kebaya” (De Winst: 76).
Sekar mengenakan “pakaian seperti seorang pelajar Barat. Rok panjang dan Blouse” (De Winst: 79). Rangga pun lebih senang bertemu Sekar dengan pakaian Baratnya. Ia justru merasa bingung ketika harus bertemu Sekar sebagai wanita Jawa yang memegang teguh adat-istidat (berpakaian) keraton (De Winst: 79).

Pakaian Barat yang dikenakan oleh Rangga dan Sekar tersebut adalah sebuah bentuk mimikri. Mereka mengadopsi pakaian Barat (pakaian yang biasa dikenakan oleh orang-orang Belanda) tetapi mereka dengan tegas melawan sikap orang-orang Belanda. Bagi Rangga dan Sekar, yang berhak mengenakan pakaian Belanda (Barat) tidak hanya orang-orang Belanda, melainkan juga bumiputra seperti mereka. Mereka meniru pakaian-pakaian orang Belanda sekaligus mengolok-olok sikap mereka yang sewenang-wenang.

Pakaian-pakaian yang dikenakan oleh orang Belanda adalah pakaian yang bersih dan rapi sekaligus memungkinkan untuk bergerak dengan bebas. Sebaliknya, pakaian Jawa akan mebelenggu seseorang yang mengenakannya dalam tindakan merangkak dan menyembah. Untuk menampilkan intelektulitas orang-orang Belanda diperlukan seperangkat pakaian yang merefleksikannya, yaitu pakaian yang dikenakan oleh orang Belanda. Mereka harus ikut arus modernitas yang ditawarkan oleh Belanda. Namun, pakaian rapi dan bersih yang mereka kenakan tidak menjamin kebaikan sikap mereka. Dengan pakaiannya, Rangga dan Sekar telah menunjukkan sikap perlawanan.

Memang tidak semua orang Belanda dalam novel tersebut dihadirkan sebagai orang yang sikapnya sewenang-wenang. Ada juga beberapa orang yang Belanda yang dihadirkan sebagai pribadi yang baik, yang mencintai para bumiputra. Namun, sekali lagi, keberadaan mereka dilawan dan ditentang. Bahkan oleh orang-orang Belanda sendiri. Barangkali Everdine Kareen Spinoza adalah salah satu contoh. Ia adalah seorang Advokad yang selalu membela kepentingan bumiputra (De Winst: 120). Ia melawan segala bentuk kesewenang-wenangan, meskipun yang melakukannya adalah seorang Belanda. Sikap Everdine tersebut menimbulkan keresahan gubermen sehingga ia pun dikenai hukuman pengasingan. Ia dianggap melawan orang-orang kulit putih, orang-orang Belanda, dan tentunya Ratu Belanda.

Sebagai wanita Belanda, Everdine tentu mengenakan pakaian Barat, pakaian yang biasa dikenakan oleh orang-orang Belanda. Namun, Everdine dihadirkan sebagai wanita Belanda yang sangat mencintai bumiputra. Ia bahkan sangat mendukung sikap yang dimiliki oleh Rangga dan Sekar. Dengan pakaiannya, dapat dikatakan bahwa Everdine telah melakukan perlawanan. Perlawanan terhadap orang-orang sebangsanya. Ia menentang orang-orang Belanda yang memakai pakaian rapi namun bersikap licik.

Beberapa Ambivalensi
Pertama kali menginjakkan kakinya di Pelabuhan Tanjung Priok, Rangga dibuat kagum oleh pemandangan yang ada di Hindia Belanda. Bagi Rangga, meskipun bangunan-bangunannya tak semegah gedung-gedung Eropa, tetapi keeksotisannya mampu menciptakan kekaguman tersendiri di hatinya (De Wints: 7). Hal tersebut juga dapat dilihat pada kutipan berikut.
Oleh karenanya, meskipun Nederland adalah negeri impian, dengan kota-kota yang indah, taman-taman bunga penuh pucuk tulip, trem yang bersih dan berjalan cepat, desa-desa dengan kincir angin yang eksotis, serta lading-ladang dan peternakan yang digarap dengan teknologi modern, ia lebih merindukan berada diantara bangsanya yang lugu. Ia merindukan tiupan serulinggembala yang menyelinap di antara batang-batang padi, seperti yang ia dengar ketika mengikuti sang rama bertirakat di sebuah pesanggrahan di Kayangan, sebuah dusun yang terpencil di daerah Tirtomoyo, Wonogiri. Ia merindukan gemericik air sungai, serta hawa tropis yang hangat dan ramah (De Winst: 13—14).

Sikap yang dimiliki oleh Rangga tersebut adalah salah satu bentuk ambivalensi. Di satu sisi ia merasa bangga terhadap negeri Belanda, namun di sisi lain sangat mengagung-agungkan tanah kelahirannya. Rangga, meskipun selama delapan tahun mengenyam pendidikan di Belanda, tidak sepenuhnya setuju bahwa segala yang ada di Belanda itu lebih baik dibandingkan dengan Hindia Belanda. Namun, Rangga pun kembali menuai kekecewaan di tanah airnya. hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Sayangnya, ketika Rangga mulai menyusuri jalan-jalan tak beraspal ke desa-desa si pinggiran Solo, ia mulai merasakan perbedaan kondisi yang sangat kentara. Aroma kemiskinan mulai tercium dari sosok-sosok sulaya yang kekurangan nutrisi serta rumah-rumah yang tak berdiri kokoh karena hanya dibangun dari dinding bamboo, atap daun rumbia dan alas tanah. Ketika ia berpapasan dengan puluhan rombongan buruh yang baru keluar drai sebuah pabrik, ia melihat wajah-wajah mereka yang eltih dan suram. Tak ada gairah kehidupan. Tak ada aura kemakmuran dipertontonkan (De Winst: 47—48).

Rangga berada dintara negeri yang kaya sekaligus miskin. Deskripsi georafis tentang Hindia Belanda yang eksotis disandingkan dengan kemiskinan yang membelenggunya membuat Rangga terombang-ambing diantara keduanya. Ia tidak bisa sepenuhnya memuja negerinya yang indah, tetapi juga tidak bisa membenci negerinya yang miskin dan bodoh.
Rangga Puruhita dihadirkan sebagai seorang pemuda yang santun dan cerdas. Ia menjadi harapan sekaligus kebanggaan orang-orang disekitarnya. Ketika masih di Leiden, ia menjadi mahasiswa kesayangan Profesor Johan Van de Vondell karena prestasi-prestasinya. Ia juga berhasil meraih simpati Everdine Kareen Spinoza, seorang gadis Belanda yang sedang mengambil studi hukum. Dengan demikian, kebaikan-kebaikan yang dimiliki oleh Rangga tidak hanya ditampilkan melalui fisiknya, melainkan juga sikap dan prestasinya.

Rangga mempelajari ilmu ekonomi dari bangsa Belanda, di Universiteit Leiden. Namun, ia juga menggunakan ilmunya tersebut untuk melawan orang-orang Belanda. Rangga mempelajari potensi pengusaha bumiputra untuk memajukan perekonomian mereka. Bagi Rangga, “untuk bisa merdeka tidak sekadar membutuhkan proklamasi dan pengakuan secara de jure. Secara de facto juga harus merdeka, dalam artian tidak memiliki ketergantungan dengan bangsa asing” (De Winst: 232).
Ia mencintai sekaligus membenci orang-orang Belanda. ia mencintai ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang Belanda, namun ia juga lebih mencintai orang-orang sebangsanya. Ia tidak ingin para bumiputra semakin menderita dan tertindas.

Selain Rangga, yang juga mengalami ambivalensi adalah ayah Rangga, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Suryanegara. KGPH Suryanegara, meskipun seorang bangsawan Jawa, ia juga menjalin pergaulan dengan orang-orang Belanda. hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
Rangga cukup memahami, meski dari ningrat yang kental darah birunya, Sang Ayah sudah cukup terwarnai gaya pergaulan orang-orang Belandayang khususnya para administrator di berbagai perkebunan yang banyak terdapat di daerah pinggiran Surakarta, seperti Colomadu, Tasikmadu, Sukaharjo dan sebagainya. Ia tak terlalu ortodok dalam beberapa hal, meskipun masih banyak juga prinsip yang ia anut dengan sangat kuat (De Winst: 59).

Suryanegaralah yang mendukung Rangga untuk berjuang di pabrik gula De Winst dalam membela buruh-buruhnya yang sebagian besar adalah bumiputra. Ia adalah penyandang dana dan pemilik saham yang cukup besar di pabrik gula tersebut. meskipun bergaul dengan orang-orang kulit putih, ia tidak menykai perlakuan mereka yang suka sewenang-wenang terhadap kaum bumiputra. Perhatikan kutipan berikut.
Dan kau, sebagai seorang inlander, harus bisa mengalahkan mereka. kau harus buktikan, bahwa kau jauh lebih unggul dibanding dengan bule-bule yang pekerjaanya hanya berpesta-pesta, menjarah kehormatan perawan-perawan pribumi dan menghambur-hamburkna uang perusahaan. Selain malaise sikap merekalah yang telah membuat perusahaan semakin bangkrut. Ingat, Rama menyekolahkan kamu jauh-jauh ke Nederland, adalah agar kau bisa mencuri ilmu mereka. dan dengan ilmu tersebut, kau harus bisa menegakkan kehormatan bangsa yang terinjak-injak (De Winst: 61).

Berdasar kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Suryanegara adalah seseorang yang mengalami ambivalensi. Di satu sisi ia bergaul dengan orang Belanda, namun di sisi lain ia membenci orang Belanda. Ia menganggap orang Belanda sebagai musuh yang harus ditaklukkan karena sumber kekacauan.

Meskipun kau adalah lulusan Barat, Rama tidak pernah mengharapkan jika kau terseret dalam kehidupan yang serba bebas. Termasuk dalam memegang tata krama pergaulan. Kau dikirim ke Nederland untuk mencuri ilmu mereka, bukan untuk menjadi seperti mereka, bukan untuk menjadi seperti mereka. Rama harap kau camkan kata-kata tersebut (De Winst: 64).

Selain Suryanegara, bangsawan keraton yang juga mengalami ambivalensi adalah ibu Sekar. Sikap Sekar yang pemberontak sangat bertolak belakang dengan ibunya. Ibunya adalah wanita keraton sejati yang selalu menjunjung tinggi adat-istiadat keraton. Pakaian yang dikenakannya tentulah pakaian wanita Jawa. Namun, ia juga mengalami kecemburuan terhadap Sekar yang dapat berkutat dengan alat-alat modern, tidak seperti dirinya yang terbelenggu dengan alam tradisional. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Wanita dengan busana kejawen, yakni kain batik sidomukti, kebaya putih dan rambut digelung rapi itu sesaat tertegun. Ada binar kecemburuan menyelinap di kisi-kisi batinnya. Lihatlah..sosok yang tengah serius menekuri mesin ketik itu—barang yang baginya teramat mewah dan modern, adalah seorang perempuan, sama seperti dirinya. Namun, perempuan itu jauh lebih beruntungdibanding dirinya. Jika perempuan itu mampu bersahabat dengan alam modern, maka selamanya ia senantiasa berkutat dalam kubangan alam tradisional yang senantiasa membelenggunya. Beruntunglah kau nak…desah wanita kejawen itu (De Winst: 72).

Ibu Sekar telah mengalami apa yang dinamakan dengan ambivalensi. Di satu pihak ia sangat menjunjung tinggi adat istiadat keraton. Ia sangat mencintai kebiasaan-kebiasaan keraton dan tidak ingin memberontak. Di lain pihak ia membenci adat-istiadat keraton karena telah menjauhkannnya dengan dunia modern yang secara diam-diam diinginkannya.

Fokalisasi dan Ideologi Teks
Kajian terhadap sastra pascakolonialisme juga tidak dapat dilepaskan dari fokalisasi. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui cara pandang fokalisator terhadap tokoh dan peristiwa yang terdapat dalam karyanya. Fokalisasi pengarang dalam novel De Winst ini, menurut saya, di wakili oleh tokoh Rangga Puruhita dan Sekar Prembayun. Rangga mewakili golongan ambivalensi. Sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Rangga cukup mewakili suara ambivalen. Adapun perlawanan yang dilakukan Sekar sama sekali tidak mengenal kompromi. Ia menolak mentah-mentah segala hal yang berhubungan dengan kapitalisme yang dilakukan oleh pihak Belanda. Ia memilih sikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial.
Selanjutnya, ideologi teks juga dianggap perlu untuk mengetahui keberpihakan karya sastra. Ideologi teks novel De Winst ini jelas memihak kepada kaum bumiputra. Hal tersebut sangat berhubungan dengan kepentingan pengarang memunculkan kembali wacana pascakolonialisme dalam novel. Pengarang seolah berusaha memberikan wacana tandingan dalam penghadiran kaum intelektual bumiputra yang cenderung berpihak pada pemerintah kolonial Belanda dan memusuhi, menghina, dan menganggap remeh kaum bumiputra.

Penutup
Wacana pascakolonialisme yang dihadirkan oleh pengarang dalam novel De Winst ini menitikberatkan pada wacana hibriditas, mimikri, dan ambivalensi. Wacana hibriditas dan mimikri dihadirkan dengan menggunakan sarana pakaian, sedangkan wacana ambivalensi dihadirkan melalui pandangan beberapa tokoh yang cenderung mencintai segala hal yang dilakukan Belanda namun sekaligus membencinya. Adapun suara pengarang sebagai fokalisator dalam novel ini tidak berada di luar, tetapi diwakili oleh tokoh Rangga Puruhita dan Sekar Prembayun.

Daftar Pustaka
Afra, Afifah. 2010. De Winst. Cet, 3. Solo: Indiva Media Kreasi.

Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Bentang.

Van Dijk, Kees. 2005. “Sarung, Jubah, dan Celana Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi” dalam Nordholt, Henk Schulte (ed.). Outward Appearences. Yogyakarta: LKiS.

Day, Tony dan Keith Foulcher. 2008. “Bahasan Kolonial dalam Sastra Indonesia Modern Catatan Pendahuluan” dalam Day, Tony dan Keith Foulcher. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Foulcher, Keith. 2008. “Larut di Tempat yang Belum Terbentuk Mimikri dan Ambivalensi dalam Sitti Noerbaja Marah Rusli” dalam Day, Tony dan Keith Foulcher. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

20
Jan
12

salam poskolonialisme

halo teman-teman, selamat datang. pengennya sih, ini nih tempat buat sharing apa saja tentang poskolonialisme. boleh gagasan, boleh permasalahan, boleh resensi buku, isu-isu poskolonialisme yang sedang berkembang, novel, film, atau apa saja lah..itung-itung nambah wawasan atau sekadar diskusi ringan.
tapi si admin belum tau nih, gimana caranya biar temen2 bisa masukin tulisannya ke blog ini. ehhmm, atau gini aja, kirim tulisan temen2 di anismashlihatin@gmail.com buat tulisan panjang, dan yang tanggapan langsung di bagian komentar aja kali ya…

salam poskolonialisme..




Kategori