02
Feb
13

Persoalan Tubuh dalam Cerpen “Orang Rantai” Karya Pinto Anugrah

oleh: Anis Mashlihatin

Tubuh merupakan ruang yang paling intim dan personal. Akan tetapi, tubuh juga bisa menjadi ruang definitif yang menjadi sasaran masyarakat penjajah kepada masyarakat terjajahnya. Upstone (2009: 148) mengungkapkan bahwa penjajahan telah menjadi proyek yang berpusat pada manipulasi dan perampasan tubuh sebagaimana sebuah wilayah dan kunci untuk mempertahankan kontrol sukses terhadap daerah: diklasifikasikan secara sejajar melalui visi, dicatat dan ditetapkan sampai tingkat pengklasifikasian percampuran ras dan jenis tertentu.  Penekanannya pada kontrol tubuh tidak hanya melalui kekerasan, tetapi juga melalui regulasi yang lebih halus.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa persoalan tubuh menjadi hal yang sangat relevan dalam kajian pascakolonialisme. Oleh karenanya, sastra pascakolonial pada satu level mencerminkan pemusatan tubuh pada kekuasaan kolonial. Faktanya, tubuh merupakan sebuah target imperialisasi dan bahkan menanggung sebuah beban warisan tubuh yang sebelumnya ditandai dan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar.

Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan melihat cerpen “Orang Rantai” dengan perspektif pascakolonial. Dilihat dari judulnya, cerpen ini terkosentrasi pada persoalan tubuh. Namun, tubuh ini pun berhubungan secara konkret dan ditopang oleh ruang-ruang yang lain, misalnya kota dan rumah. Bahkan, tubuh pun menjadi bagian dari ruang-ruang tersebut. Untuk itu, tulisan ini akan difokuskan pada pembahasan mengenai bagaimana tubuh dipersoalkan, tanpa mengesampingkan ruang-ruang lain yang mendukung keberadaan tubuh tersebut.

Cerpen “Orang Rantai” diterbitkan pada tahun 2012 dalam sebuah antologi Kumis Penyaring Kopi. Cerpen ini menceritakan sebuah keluarga kuli kontrak batubara (Mak, Bapak, dan Saya) di Sawahlunto dengan mengambil sudut pandang tokoh saya. Mereka bukanlah penduduk asli Sawahlunto, tetapi berasal dari Jawa. Suatu malam, di sebuah pasar malam, tokoh bapak terlibat kasus pembunuhan seorang Indo Belanda. Kejadian tersebut kemudian menjadikan tokoh bapak dipenjara dan dijadikan orang rantai. Orang rantai adalah narapidana yang dijadikan kuli pengambil batubara karena merampok atau membunuh. Kaki mereka dirantai agar tidak melarikan diri. Dalam cerpen ini, tokoh anak digambarkan selalu mengalami mimpi bertemu tokoh bapak. Di dalam mimpinya itulah dikisahkan bagaimana kehidupan para kuli kontrak yang penuh dengan penindasan.  

Wacana kolonial yang terbentuk dalam cerpen ini diperlihatkan oleh adanya penindasan yang dilakukan oleh pihak kolonial, yaitu seorang Belanda pemilik gudang batubara, terhadap para kuli kontrak dan kemudian orang rantai. Adanya orang rantai dapat dilihat sebagai bentuk kolonialisme terhadap tubuh sebagai wilayah atau ruang. Rantai adalah simbol keterikatan tubuh, keterbelengguan. Orang rantai adalah tubuh yang tereksploitasi oleh kolonialisme Belanda sehingga ia menjadi tersubordinasi. Orang rantai, yang dalam cerpen ini diwakili oleh tokoh bapak, diposisikan sebagai liyan yang pantas dipinggirkan. Ia tidak memiliki suara untuk melawan. Akan tetapi, terdapat tokoh lain yang bertindak sebagai subjek yang meresistensi wacana tersebut. Ia berusaha melakukan aktivitas-aktivitas untuk menerobos bentuk penjajahan yang dilakukan oleh penjajahnya.

 

Dimensi Waktu

Dalam cerpen ini, waktu dibagi menjadi dua dimensi, yaitu dunia nyata dan dunia mimpi. Mimpi inilah yang menjadikan tubuh bercabang dua, yaitu bergerak ke masa lalu dan ke masa kini. Dalam hal ini mimpi berperan sebagai penghubung antara masa lalu dan masa kini. Pergerakan waktu yang dimediasi oleh mimpi ini berpengaruh terhadap keberadaan tubuh.

Tokoh saya/aku berada dalam masa kini dan masa lalu karena dialah yang mengalami mimpi. Ketika berada dalam masa kini, tokoh ini menjadi/berlabel “aku”, sedangkan ketika berada dalam masa lalu, tokoh ini berlabel “saya”. Masa lalu yang menggambarkan kondisi kuli kontrak ini selalu muncul dalam mimpi sehingga penjajahan tersebut bisa diketahui. Dalam hal ini, mimpi tidak digunakan untuk menjebak para tokohnya, tetapi berfungsi untuk mereproduksi wacana keterjajahan. Hal itu dimaksudkan agar wacana keterjajahan diingat terus-menerus, atau bahkan digunakan sebagai pemantik untuk melakukan resistensi.

Tokoh bapak adalah tokoh yang hidup di masa lalu, tetapi ia bisa berada di masa kini. Ia berada dalam dunia mimpi tokoh saya sehingga mengantarkannya di ‘dunia nyata’. Dengan kata lain, tokoh bapak diangkut lagi oleh tokoh saya (melalui mimpinya) untuk berada di masa kini. Karena berada dalam mimpi, tokoh bapak telah melampaui batas-batas. Mimpi adalah ruang yang memungkinkan tubuh bapak untuk eksis lagi setelah sebelumnya dilenyapkan.

Gerakan bolak-balik dari mimpi ke nyata yang dialami tokoh saya tersebut menjadikan waktu tumpang tindih, bahkan menimbulkan chaos. Chaos ini terjadi ketika tokoh aku berada di ruang kelas. Ia mengira bahwa gurunya sedang membacakan puisi tentang nasib para kuli kontrak. Padahal, guru tersebut sedang menjelaskan pelajaran matematika. Di sini, tokoh aku mengalami kebingungan.

Berdasarkan kondisi tersebut, yang seolah-olah berkedudukan sebagai waktu kolonial dalam cerpen ini adalah waktu dalam mimpi (masa lalu), sedangkan waktu pascakolonial adalah waktu ketika tokoh saya tidak bermimpi. Namun, hal ini tidak serta-merta menjadikan masa lalu sebagai wilayah kolonialisme dan masa kini sebagai wilayah yang terbebas sepenuhnya dari penjajahan. Hal tersebut sangat berkaitan dengan dimensi ruang dan aktivitas tubuh yang akan dijelaskan pada bab berikut.

 

Dimensi Ruang

Cerpen ini diawali dengan gambaran tentang kondisi alam yang tidak bersahabat dan tidak teratur. Topografi kota yang dikelilingi oleh perbukitan tidak sejalan bahkan berseberangan dengan kondisi yang seharusnya sehingga kota menjadi paradoksal, yang digambarkan sebagai berikut.

“Ini, bukanlah kehidupan senja di pegunungan yang sepi. Kota ini, kota yang membara oleh batubaranya. Kota yang terletak pada sebuah lembah, dikurung oleh perbukitan, hingga jika dilihat dari salah satu puncaknya persis seperti kuali. Kota kuali. Tapi jangan pernah membayangkan, karena letak topografisnya kota ini kota yang sejuk, yang setiap saat akan berhembus angin gunung atau angin lembah. Kota ini berdebu dengan suhu yang amat panas, apalagi jika siang hari” (Anugrah, 2012: 21—22).

 

Kutipan di atas memperlihatkan sebuah kota yang “membara”. Bukan kota ideal jika dilihat dari letak topografinya. Sebuah lembah yang dikelilingi oleh perbukitan seharusnya membuat kota menjadi sejuk dan dingin. Akan tetapi, langit dan bumi di kota tersebut seakan tak bersahabat. Dalam hal ini, kota direpresentasikan sebagai ruang yang tidak teratur. Ditambah lagi dengan aktivitas-aktivitas di dalamnya yang menjadikan kota semakin sibuk, hiruk pikuk. Kondisi ini disebabkan oleh kehadiran materi yang lain, yaitu batubara. Batubaralah yang menjadi bibit dari kesibukan tersebut. Batu bara yang juga merupakan bagian dari alam ternyata dapat mengganggu keseimbangan alam itu sendiri. Akan tetapi, batubara tersebut bisa “muncul ke permukaan” karena adanya manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa yang membuat keruwetan adalah manusia itu sendiri. Gambaran mengenai kota yang sibuk dan ruwet tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Sawahlunto, begitulah nama resmi kota ini. Dapat dikatakan bahwa kota ini kota yang sibuk. Pecahan batubara terserak dimana-mana. Lori-lori hilir mudik mengangkut batubara dari lubang-lubang tambang yang tak jauh dari pusat kota. Tiap sebentar kereta api akan berangkat dan berhenti di stasiun mengangkut emas hitam itu ke pelabuhan” (Anugrah, 2012: 22).

 Lori, kereta api, dan stasiun adalah ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya kesibukan tersebut. Lori adalah jalan yang memungkinkan pergerakan kereta api, sedangkan stasiun adalah muara yang dituju oleh pergerakan tersebut. Ketiganya saling berkorespondensi untuk memperkuat kesibukan. Jika ketiga ruang tersebut tidak ada, maka batubara dan manusiapun tidak dapat membuat kesibukan. Selanjutnya, ruang-ruang tersebut pun ternyata berasal dari ruang lain yang lebih besar, yaitu menara. Perhatikan kutipan berikut.

“Jika anda datang ke kota ini, maka berdirilah di salah satu puncak bukitnya. Anda akan lihat sebuah menara yang menjulang tinggi hampir sejajar dengan puncak bukit itu. Sebenarnya bukanlah sebuah menara karena akan Anda lihat di puncaknya asap hitam pekat mengepul ke udara. Ya, itu sebuah cerobong asap dari Bungker Power Plan milik Belanda. Persis di bawah cerobong asap itu terdapat sebuah gudang tungku batu bara yang besar, dipergunakan untuk membuat senjata dan mesiu, tetapi sering juga digunakan untuk membuat peralatan tambang” (Anugrah, 2012: 22).

 Ruang menara, yaitu Bungker Power Plan, ini mendukung bahkan menjadi pusat keriuhan kota dan kondisi alam yang panas. Di puncaknya terdapat asap hitam pekat mengepul ke udara. Menara ini kemudian menjadi ruang yang menimbulkan kekacauan kota dan udara. Di dalam menara tersebut, terdapat ruang-ruang yang lain, yaitu gudang tungku batubara yang berukuran besar dan luas. Gudang ini dipergunakan untuk membuat senjata dan mesiu, juga peralatan tambang. Gudang ini pun menjadi tempat dimulainya segala aktivitas yang dilakukan oleh tubuh.

Selain itu, di dalam cerpen ini terdapat ruang publik, yang dinamakan dengan Goedang Ransoem. Ruang ini adalah sebuah dapur umum tempat memasak makanan para pekerja tambang atau kuli kontrak. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tubuh kuli kontrak dan tubuh para pekerja yang lain bergantung pada eksistensi ruang ini. Di dalam ruangan inilah tokoh Mak bekerja. “Mak bekerja dengan kuali-kuali yang berukuran besar dan sendok-sendok yang sangat panjang” (Anugrah, 2012: 23—24). Ruang ini adalah satu-satunya ruang yang bebas dimasuki oleh siapapun. Di ruang ini pulalah keluarga-keluarga kuli kontrak lainnya sering berkumpul untuk makan siang.

Di sisi lain, cerpen ini menghadirkan ruang lain yang berkebalikan dengan ruang kota, yaitu perbukitan. Perbukitan ini dengan sendirinya menjadi oposisi kota. Perbukitan adalah tempat dimana tokoh saya menghabiskan waktunya ketika ia telah berputus asa dalam pencarian tokoh bapak. Ketika tokoh saya tak lagi mampu menerima keadaan ruang kota, ia beralih pada ruang lain yang berjarak dengan ruang kota tersebut. Dengan kata lain, perbukitan merupakan ruang alternatif. Di atas perbukitan ini, tokoh saya dapat melihat kondisi yang terjadi di kota. Hal terseut tergambar pada kutipan berikut ini.

“Entah kemana saya harus mencari. Hingga hari-hari saya pun kini lebih banyak saya habiskan di puncak bukit yang mengurung kota ini. Oh, menara itu, cerobong asap itu, yang tegak menjulang di tengah kota. Asapnya terus mengepul. Pekat. Hitam. Mengingatkan saya kepada Bapak” (Anugrah, 2012: 30).

 Dalam pada itu, terdapat ruang antara yang menghubungkan perbukitan dan kota, yaitu jalan setapak yang berada di lereng bukit. Jalan ini pula yang menghubungkan tokoh saya dengan kenangan terhadap tokoh bapak. Akan tetapi, jalan setapak ini tidak berhasil menjadi penghubung atau jalan yang sebenarnya. Ia dihalangi oleh ruang lain, yaitu pintu. Pintu dalam cerpen ini memang bersifat ‘pilih kasih’, ia menjadi ruang pembuka sekaligus ruang penghalang. Ia menjadi pembuka ketika berhadapan dengan tubuh-tubuh kuli kontrak dan tuan Belanda. Sebaliknya, ia menjadi penghalang jika berhadapan dengan tubuh yang ‘meresisten’ kuli kontrak dan tuan Belanda. Pintu, dengan demikian, mendukung kolonialisme daripada perlawanan terhadapnya.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ruang kota adalah ruang yang membelenggu tubuh. Lebih dari itu, kesibukan-kesibukan yang terjadi di ruang kota tersebut berada di alam mimpi, masa lalu. Ruang-ruang tersebut dihadirkan sangat membelenggu, mendukung dan mengkondisikan keterjajahan para kuli kontrak. Sebaliknya, ruang kota tersebut adalah ruang yang diinginkan oleh pihak Belanda karena memungkinkannya untuk mengawasi dan mengeksploitasi tenaga kuli kuli kontrak untuk memperoleh batubara. Hal inilah yang menjadikan tubuh mencari alternatif-alternatif lain yang mampu ‘membebaskan tubuh’, misalnya pasar malam[1] dan perbukitan. Keberadaan perbukitan sebagai oposisi ruang kota semakin melegitimasi bahwa ruang kota bukanlah ruang yang nyaman bagi keluarga kuli kontrak.

 

Dimensi Tubuh

Cerpen ini menghadirkan relasi antara pekerja kuli kontrak dengan tuannya, yaitu seorang pendatang dari Jawa dengan orang Belanda, di Sawahlunto. Representasi ruang kota Sawahlunto yang telah dikemukakan di muka berpengaruh besar terhadap keberadaan tubuh. Ruang tersebut adalah arena tubuh untuk melakukan berbagai aktivitas. Tubuh yang dihadirkan dalam cerpen ini, antara lain: Saya/aku, Bapak, Mak, Polisi Belanda, Opsir Pribumi (Samin dan Amaik), Van Hoeze, De Greve, Guru, Murid, dan Kepala Bagian Administrasi.

Selain memandang manusia sebagai makhluk sosio-kultural, cerpen ini juga memandang manusia sebagai makhluk biologis. Gambaran mengenai tubuh dalam cerpen ini terkait dengan jenis pekerjaan. Misalnya, tubuh kuli kontrak digambarkan kuat dan berotot (Anugrah, 2012: 22), begitu pula dengan tubuh polisi yang digambarkan begitu kekar dan kuat (Anugrah, 2012: 30). Selain itu, dalam cerpen ini masing-masing tubuh memiliki ‘tuan’. Artinya, tubuh yang satu tunduk pada tubuh yang lain.  

Persoalan tubuh dalam cerpen ini dipandang sebagai persoalan yang tidak mudah, yang tidak dapat diatasi oleh kekuatan jiwa. Tokoh saya adalah salah satu contoh. Selama kepergian tokoh bapak, tokoh ini tidak mampu menghapus ingatan tentang bapak. Bahkan, tokoh bapak menjelma dan muncul dalam keadaan apapun. Hal ini mengindikasikan bahwa jiwa tidak mampu mengendalikan tubuh. Bahkan, suara jiwa inilah yang ‘membelenggu’ tubuh. Selain itu, dalam cerpen ini ada yang berperan sebagai tubuh colonial dan tubuh pascakolonial yang kemudian mengantarkannya pada tubuh metaforik dan metonimik.

 a.      Tubuh Bapak: Wilayah Kolonialisme

Tubuh kolonial memiliki bentuk dan lokasi yang ditentukan. Tubuh direpresentasikan sebagai objek, alat, dan bentuk pasif. Dalam cerpen ini, yang mewakili tubuh kolonial adalah tubuh bapak. Sebagai kuli kontrak, bapak digambarkan memiliki tubuh dengan struktur yang kuat. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.

Tubuh Bapak kekar, dengan otot-otot menyembul keluar. Kulitnya hitam legam, terbakar nyala panas bara batubara. Garis rahangnya tegas. Urat tangannya menggaris keluar seperti jalan penuh labirin. Bapak orang yang kuat dan sangat jarang sakit (Anugrah, 2012: 22–23).

 Akan tetapi, meskipun tubuh bapak kuat, tubuh bapak masih bisa dikalahkan oleh kekuatan tubuh yang lain, yang lebih kuat, yaitu mantri polisi. Mantri polisi ini menggunakan senjata yang pengerjaannya dilakukan oleh orang-orang seperti bapak. Persenjataan yang digunakan oleh mantri polisi tersebut adalah piranti yang mendukung kekuatan tubuh sehingga kekuatannya menjadi berlipat ganda. Hal ini mengindikasikan bahwa tubuh bisa dikalahkan oleh tubuh yang didukung oleh alat. Tubuh bapak memiliki tuan yang membuatnya tunduk.

Ketergantungan tubuh pada tubuh yang lain yang berkaitan dengan ruang melibatkan keberadaan rumah. Keberadaan rumah kemudian menjadi penting dalam hubungannya dengan tubuh. Bapak tidak memiliki rumah. Mereka tinggal di barak-barak yang tersusun rapi yang digambarkan sebagai berikut.

“Kira-kira sekilo dari cerobong asap arah utara terdapat barak-barak yang tersusun rapi seperti rumah-rumah petak. Di salah satu barak itu saya, Mak, dan Bapak tinggal. Bapak belum punya rumah sendiri di sini. Barak yang kami tempati milik perusahaan tambang Belanda tempat Bapak bekerja” (Anugrah, 2012: 23).

 Barak tersebut ditata dengan rapi untuk memudahkan pengawasan/pengendalian. Selain penataan yang rapi, tidak ada gambaran yang detail mengenai barak tersebut. Barak tersebut mengindikasikan bahwa yang menempatinya adalah orang yang miskin, para pekerja yang belum memiliki rumah. Mereka masih bergantung pada tubuh yang lain, yang menguasainya, yaitu pemilik tambang batubara (orang Belanda). Dialah yang sekaligus menjadi oposisi bapak. Bapak adalah buruh, sedangkan pemilik perusahaan Belanda tersebut adalah majikan. Bapak dikuasai, sedangkan pemilik tambang batubara menguasai. Ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh bapak, yang dengannya ia bisa mengikat bapak. Bapak belum punya rumah sendiri, tetapi bapak harus memiliki tempat perlindungan untuk Mak dan saya. Oleh karena itu, ia harus bergantung pada tubuh lain yang memiliki tempat perlindungan tersebut. Jika dilihat dari konsep Upstone, tubuh bapak dapat dimasukkan dalam tubuh yang metaforis. Ia dibagi, disusun, dan diawasi seperti halnya kota dan barak yang ia tempati.

Ketika berada di luar barak, tubuh terancam. Dalam kasus ini, barak beroposisi dengan pasar malam, tempat semua tubuh bisa masuk. Tidak hanya saya, Mak, dan bapak, tetapi juga semua keluarga kuli kontrak. Struktur ruang pasar malam tidak berbeda jauh dengan gudang tungku batubara dan Goedang Ransoem. Ketiganya sama-sama ruang publik, tempat bertemunya banyak orang. Selain itu, ketiganya dibangun oleh orang Belanda. Jika gudang tungku batubara dan Goedang Ransoem adalah ruang kerja, tempat tubuh bisa menjadi lelah, halnya berbeda dengan pasar malam. Pasar malam adalah ruang hiburan dan permainan. Ruang yang dinanti-nantikan.

“Kota saat ini mulai ramai, besok akan ada pasar malam. Pasar malam yang selalu rutin diadakan oleh perusahaan tambang tempat Bapak bekerja setiap minggu pertama di awal bulan, yang berlangsung selama seminggu penuh, semacam perayaan untuk para kuli kontrak setelah menerima gaji. Inilah yang selalu saya nanti-nantikan. Berbagai macam hiburan dan permainan akan meramaikannya, seperti buayan kaliang atau bianglala, komedi putar, dan sirkus” (Anugrah, 2012: 27—18).

“Tentu saja tidak hanya saya yang senang dengan adanya pasar malam di kota ini, semua orang senang, termasuk Bapak. Pada saat inilah satu-satunya hari luang Bapak pada satu bulan penuh dan tentu saja hari luang itu akan digunakan Bapak sepenuhnya untuk menghilangkan suntuk dari pekerjaan” (Anugrah, 2012: 28).

 Di dalam pasar malam inilah tubuh menjadi bisa ‘bergerak’, melepaskan lelah yang membelenggu. Pasar malam menjadi satu-satunya tempat yang dapat melepaskan tubuh dari himpitan hidup sehari-hari. Pasar malam merupakan ruang publik yang memungkinkan segalanya terjadi. Ia membuka peluang untuk keterbukaan, berbagai macam interaksi, kebebasan, petualangan, hiburan, tetapi juga ketakterlindungan. Akan tetapi, disini pulalah tubuh menjadi tak terjaga. Tubuh terancam serangan dari luar.

Dalam skala tertentu, pasar malam pun dijadikan alat oleh pihak Belanda untuk menjerat tubuh. Dengan adanya pasar malam, para kuli kontrak mudah menghabiskan uangnya sehingga hal ini otomatis menguntungkan pemilik tambang. Hal ini mengingat bahwa pasar malam dibuat sebagai “perayaan untuk para kuli kontrak setelah menerima gaji”. Dengan kata lain, pasar malam adalah alat untuk memelihara kontrol atas tubuh.

Selain itu, di pasar malam ini pula terjadi pembunuhan. Tempat tubuh menghilang/musnah.  Dalam cerpen ini, disebutkan bahwa bapak membunuh seorang Indo Belanda, seorang pegawai administrasi tambang, tetapi penyebab pembunuhan tidak disebutkan. Bapak membunuh/mengalahkan orang itu dengan batubara, sebuah benda yang menjadi kesehariannya, sangat dikenalnya. Itulah mengapa bapak berhasil membunuh seorang Indo Belanda hanya dengan batu bara. Bapak tidak menggunakan senjata yang memang suatu benda yang jauh darinya.  

Ketika membunuh orang Indo Belanda tersebut, bisa jadi bapak menyadari risiko-risiko yang akan ditanggungnya. Dalam hal ini, bapak sengaja melakukan hal tersebut sebagai upaya untuk memperoleh kebebasan. Upayanya itu berbentuk tindakan yang radikal. Akan tetapi, alih-alih memperoleh kebebasan, bapak justru terperosok dalam jurang yang semakin menjeratnya. Ia dijadikan sebagai orang rantai.

Fungsi rantai adalah untuk mengikat tubuh. Rantai, dalam cerpen ini, sekaligus bertindak sebagai metafor bagi tubuh yang terjajah. Oleh karena itu, orang rantai dapat dikatakan sebagai orang yang terjajah. Rantai inilah yang tidak memungkinkah tubuh untuk memberontak apalagi terlepas. Dengan demikian, keberadaan rantai pun semakin menjustifikasi kekuasaan kolonial. Selain itu, yang tidak memungkinkan bapak untuk kabur adalah dirinya yang berasal dari Jawa, dan dia tidak sendirian. Ada tubuh lain yang mengikatnya. Ia membawa Mak dan Saya. Hal ini sejajar sengan barak-barak yang disusun rapi yang tidak memungkinkan tubuh bapak untuk bersembunyi.

Akan tetapi, pembunuhan yang dilakukan oleh bapak tersebut menjadikan tubuh bapak tidak sepenuhnya kolonialis karena sudah ada upaya-upaya resistensi, meskipun tidak berhasil. Tindakan yang dilakukan oleh bapak ini tidak pernah dilakukan oleh kuli kontrak yang lain. Hal inilah yang menjadikan mereka tercengang.

Oh, semua orang hening, menatap bapak yang berdiri terpaku di tengah, tangannya menggenggam pecahan batubara yang berlumuran darah. Dan di sampingnya, terbujur seorang Indo Belanda. Kepalanya pecah. Mengeluarkan darah (Anugrah, 2012: 29).

 

Segala peristiwa yang dialami oleh bapak ini terjadi di mimpi tokoh saya. Dengan adanya mimpi inilah tubuh bapak tidak hilang sepenuhnya. Ia masih diingat terus-menerus karena masih dating melalui mimpi-mimpi.

 b.      Tubuh Saya: Menuju Resistensi

Tubuh pascakolonial bukanlah entitas yang otonom, melainkan sudah ditandai dengan masa lalu kolonial sehingga tubuh dapat didefinisikan ulang. Cerpen ini mengungkapkan bahwa eksistensi kota bergantung pada eksistensi manusia di dalamnya. “Kota ini ada dan berkembang karena adanya kami” (Anugrah, 2012: 23). Yang dimaksud dengan “kami” adalah orang-orang Jawa yang menjadi kuli kontrak batubara di Sawahlunto. Hal ini mengindikasikan bahwa tubuh merupakan sebab keberadaan entitas yang lain. Akan tetapi, untuk menjadi eksis, tubuh ini pun sangat bergantung pada ruang yang lain, yaitu Goedang Ransoem, seperti yang sudah dijelaskan di muka.

 “Di gudang itu saya dapat masuk dengan bebas. Gudang itu hanya dijaga dua orang opas pribumi dengan pentungan di pingganggnya, Samin dan Amaik namanya” (Anugrah, 2012: 24). Di sini diperlihatkan dengan jelas mengapa tubuh tokoh aku dapat bergerak bebas. Yang menjaga Goedang Ransoem adalah seorang opas pribumi yang hanya menggunakan kentungan, tubuhnya tidak dilengkapi oleh senjata yang berbahaya atau mematikan. Selain itu, opas tersebut adalah seorang pribumi yang oleh tokoh saya diketahui namanya, yaitu Samin dan Amaik. Terteranya nama diri tersebut disebabkan tubuh tokoh saya yang dekat dan akrab dengan keduanya, mereka adalah orang pribumi. Dengan kata lain, tubuh tokoh saya hanya mengenal yang pribumi.

Halnya berbeda dengan tempat kerja bapak. Di tempat kerja tersebut, tubuh tidak dapat bebas keluar masuk karena dijaga oleh dua orang polisi Belanda yang bersenjata. Ketakterjangkauan ruang itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, tubuh tokoh saya tak akrab dengan tubuh yang berbeda dengan dirinya sehingga menjadi asing dan timbul keberjarakan. Oleh sebab itulah ia tak mengenalnya, tak menyebutkan namanya. Barangkali ditambah pula dengan nama Belandayang  terlalu sulit untuk diucapkan lidah pribumi. Kedua, tubuh yang berbeda tersebut dilengkapi dengan senjata, piranti lain yang membuat tubuh tersebut semakin terasa jauh. Polisi Belanda tersebut sengaja diletakkan di tempat bekerja tubuh Bapak agar pekerja-pekerja di buat asing dengan tubuh yang berbeda tersebut sehingga tidak terjadi negosiasi. Lagi pula, tubuh tersebut dilengkapi dengan senjata dengan laras panjang yang akan semakin menimbulkan ketakutan.

Namun, ketika tubuh tokoh aku tidak dapat masuk karena ada pintu yang dijaga, terdapat ruang alternatif yang memungkinkan tubuh saya dapat memasuki ruang kerja Bapak. Hal ini karena “saya sering menyelinap ke sana lewat ventilasi udara gudang yang cukup besar, yang bisa meloloskan tubuh kecil-kurus”nya (Anugrah, 2012: 23) sehingga tubuh saya bisa mengetahui apa-apa yang terjadi. Ketika pintu menyaring siapa saja yang boleh masuk atau tidak, ventilasi merupakan solusi. Dalam hal ini, ventilasi adalah ruang antara, ia berperan sebagai jembatan. Ventilasi udara gudang yang cukup besar tersebut adalah ruang yang menghubungkan antara yang di luar dan yang di dalam. Ruang yang memungkinkan tubuh untuk masuk, menerobos batas yang dibuat oleh tubuh yang lain sehingga tubuh saya bisa melihat apa yang oleh orang kebanyakan tak bisa lihat.

Ventilasi tersebut memungkinkan tubuh untuk memilih masuk kedalam kondisi yang lain dan asing dengan level keterlibatan yang  ia pilih sendiri. Tubuh saya memilih untuk masuk ke dalamnya. Tokoh saya ini diuntungkan oleh struktur tubuhnya yang kecil dan kurus, ruang geraknya jadi lebih fleksibel. Ini berarti, ventilasi tersebut tidak dapat dimasuki oleh tubuh yang strukturnya tidak kecil dan tidak kurus. Bisa jadi, tubuh yang kecil dan kurus ini merupakan representasi tubuh anak-anak kuli kontrak kebanyakan, yang kurang makan. Tubuh yang kurus ini kemudian bersifat dualistik, merugikan sekaligus menguntungkan.

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, tubuh saya ini mengalami chaos. Pergerakan/pergantian dari mimpi ke nyata, masa lalu ke masa kini, inilah yang menjadikan tubuh saya mengalami kegagapan.

“Aku pusing. Kemudian semuanya seperti berputar. Terus berputar. Murid yang lain kemudian mendekatiku. Guru itu, juga berjalan ke arahku. Semakin dekat, mereka semakin membesar. Kemudian aku mulai menangkap dengungan di telingaku. Seperti lebah. Terus mendengung. Wajah mereka mengerubungiku. Lebah-lebah itu telah mendapat mangsanya. Kemudian, suara-suara itu kembali. Aku kembali dapat mendengar mereka. Tapi suara-suara melengking, memekakkan. Mereka berteriak-teriak di depanku, membuka mulutnya besar-besar” (Anugrah, 2012: 26).

 Di masa lalu, ia adalah tubuh yang sedikit banyak telah mengalami keterjajahan fisik. Di masa lalu, ketika bapak dihilangkan atau dijadikan sebagai orang rantai, ia sudah melawan, tetapi gagal. Dampak dari kegagalan tersebut ia rasakan sampai masa kini. Hal inilah yang menjadikannya berada pada posisi antara, ambivalen. Iniah yang disebut sebagai tubuh yang metonimik. Ia tak bisa disebut sebagai tubuh pascakolonial yang sepenuhnya cair karena ia tidak sepenuhnya resisten, tetapi juga tidak sepenuhnya terjajah. Di satu sisi, ia ingin melawan (dan telah melakukan perlawanan terhadap) benteng yang membelenggu tubuhnya dan tubuh bapak, tetapi di sisi lain ia sadar bahwa keinginannya tersebut tidak mungkin dicapai. Dalam skala tertentu, tubuhnya tidak mampu melampaui tubuh penghadangnya. Karena sebenarnya di masa kini, di dunia nyata, ia adalah orang rantai. Ia mengulang apa yang dialami oleh bapak.

“Tidak!” Aku terbangun. Mimpi itu lagi. Oh, mimpi dalam mimpi. Benarkah? Ketakutan itu. Aku mencoba bangkit dari tempat tidurhendak membasuh muka. Menghilangkan rasa takut. Namun, rasanya tubuh ini nyeri digerakkan. Kuperiksa tubuhku; perut, dada, dan punggungku memar seperti bekas cambukan. Kakiku, terasa berat dilangkahkan dan dipergelangan kakiku memar bekas dirantai. Pergelangan tanganku juga memar dan sulit digerakkan. Aku sulit bernapas. Napasku sesak, seperti ada yang mencekik. Kuraba leher ini, memar, perih, kulitnya lunak. Aku semakin tercekik. Oh aku ingat cerita guru itu; orang rantai. Apakah aku? Darahku serasa habis. Kemudian gelap. Kelam” (Anugrah, 2012: 31).

 

Ada metafor penting yang digunakan oleh cerpen ini dalam menggambarkan tubuh saya, yaitu sungai, anjing, dan patung. Ketika tokoh saya hendak menemui Bapak, ia dihadang oleh dua orang polisi yang serta merta melemparkan tokoh aku ke sungai “seperti bangkai anjing”. Kemudian tokoh saya “keluar dari sungai. Kemudian kembali berlari ke Bunker. Polisi itu kembali menyeret dan melemparkan saya ke sungai” (Anugrah, 2012: 30—31). Selain itu, rupanya sungai pulalah yang menjadi muara dari pencarian yang dilakukan oleh tokoh saya. Menurut berita dari opas pribumi, tubuh bapak dijadikan sebagai orang rantai di Sungai Durian. Dengan kata lain, sungai menjadi tempat bertemunya tubuh kolonial dan tubuh poskolonial. Dalam hal ini, tubuh tokoh saya dapat diandaikan sebagai sungai, yang alirannya deras. Meskipun dilempar kesana kemari, tubuh ini tetap mengalir kendati tak juga berhasil. Hal inilah yang membedakannya dengan tubuh-tubuh yang lain.

Tubuh masa kini, yang berada di kelas, dalam kaca mata tubuh saya adalah diandaikan seperti patung. Meskipun berada di masa kini, tubuh-tubuh ini pun hanya berperan sebagai patung sehingga membuat tubuh saya selalu gelisah.

“Tidak! Aku tidak tuli!” Aku berteriak, tapi teriakanku lagi-lagi seperti dibungkam. Redam di udara. Tak ada yang mendengar—guru masih menerangkan di depan dan murid yang lainnya, mereka seperti patung dengan tangan terlipat di atas meja, tak bergerak sedikitpun, tak berkedip sedetik pun (Anugrah, 2012: 25).

 Keberadaan tubuh yang tak kalah pentingnya adalah tubuh Mak. Cerpen ini menempatkan tubuh perempuan berada di wilayah antara. Ialah yang menghubungkan tubuh bapak dan tubuh saya. Hal ini disebabkan ketika bapak dibawa oleh mantra polisi karena pembunuhan yang dilakukannya, Mak sellau murung. Makin hari Mak makin kurus dan pucat. Mak kemudian menyuruh ‘saya’ untuk mencari bapak. Kondisi inilah yang mendorong tubuh saya untuk melakukan pencarian terhadap tubuh bapak. Membawa tubuh bapak pulang.

 

Kesimpulan

Tubuh dalam cerpen “Orang Rantai” dibagi menjadi tiga. Pertama, tubuh bapak yang dihadirkan sebagai wilayah kolonialisme. Akan tetapi, ia tidak sepenuhnya terkolonialisasi. Sudah ada upaya untuk keluar dari tubuh-tubuh lain yang membelenggunya. Kedua, tubuh saya. Dari awal, ia adalah tubuh yang berusaha untuk meresistensi, meskipun ia terombang-ambing dalam wilayah chaos yang dialaminya. Akan tetapi, ia pun tak sepenuhnya resisten. Ada benteng-benteng tertentu yang tak mampu diterobosnya karena ia adalah bagian dari benteng tersebut sehingga hal ini menempatkannya pada posisi yang ambivalen. Di masa kini, ia mengulang apa yang dialami oleh bapak. Ia dijadikan sebagai orang rantai. Ketiga, tubuh Mak. Secara tidak langsung, tubuh Mak adalah tubuh yang terjajah. Ia menanggung beban berat atas apa yang terjadi pada bapak. Tubuh Mak ini pulalah yang menghubungkan antara tubuh bapak dan tubuh saya.

Tubuh lain yang dihadorkan tubuh ini adalah tubuh yang menghalangi dan tubuh yang mendukung ketiga tubuh di atas. Tubuh yang menghalangi adalah tubuh pemilik tampang, yaitu orang-orang Belanda dan mantri polisi Belanda. Mereka adalah orang “asing” dan “tak terjangkau”. Adapun tubuh yang membantu adalah opas pribumi, yaitu Samik dan Amain. Kedua tokoh inilah yang memberikan ‘jalan’ bagi ketiga tubuh di atas. Yaitu jalan penunjuk dimana sebenarnya tubuh bapak berada.

Keberadaan tubuh-tubuh tersebut dipengaruhi oleh ruang-runag yang melingkupinya. Ruang yang disusun oleh  pihak Belanda telah menjadikan tubuh tak mampu keluar dari jeratannya. Akan tetapi, dalam ruang-ruang tersebut terdapat ruang-ruang alternatif sebagai bentuk penerobosan terhadap ruang yang membelenggu tersebut.

 

 

Daftar Pustaka

Anugrah, Pinto. 2012. “Orang Rantai” dalam Kumis Penyaring Kopi. Yogyakarta: ning.

Usptone, Sara. 2009. Spatial Politics in The Postcolonial Novel. England: Ashgate Publishing Limited.   


[1] Pembahasan mengenai pasar malam ada di bab selanjutnya


0 Tanggapan to “Persoalan Tubuh dalam Cerpen “Orang Rantai” Karya Pinto Anugrah”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar


Kategori