Posts Tagged ‘mimikri

21
Jan
12

Hibriditas, Mimikri, dan Ambivalensi dalam Novel De Winst Karya Afifah Afra

oleh Anis Mashlihatin

Pascakolonialisme: Hibriditas, Mimikri, dan Ambivalensi

Pascakolonialisme dalam kajian sastra dipahami sebagai strategi bacaan yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasi adanya tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra dan menilai sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut (Day, 2008: 3). Wacana pascakolonialisme tidak hanya berkisar pada teks-teks sastra yang terbit pada masa kolonial, tetapi lebih kepada teks-teks sastra yang mewacanakan atau menampilkan jejak-jejak kolonialisme.

Karya sastra merupakan lahan subur dalam usaha menggali wacana-wacana kolonialisme karena karya sastra merupakan tempat bertemunya ideologi-ideologi. Karya sastra yang ditulis oleh pihak penjajah maupun terjajah dalam prosesnya seringkali menyerap, mengambil, dan menulis aspek-aspek dari budaya lain serta menciptakan genre, gagasan-gagasan, dan identitas baru. Dengan demikian, karya sastra merupakan sarana penting untuk mengambil, membalikkan, atau menantang sarana-sarana dominan penggambaran dan ideologi-ideologi kolonial (Loomba, 2003: 92—93).

Salah satu situs kunci yang dapat digunakan dalam analisis kajian sastra pascakolonial adalah hibriditas. Hibriditas adalah istilah yang dipakai untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya yang berbeda yang dapat menghasilkan pembentukan budaya dan identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri (Day, 2008: 12). Akan tetapi, dalam kajian pascakolonial hibriditas mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk paduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini dan penempatannya dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan kolonial (Day: 22008:13).

Hibriditas memicu timbulnya mimikri. Dalam kajian pascakolonialisme, konsep mimikri diperkenalkan oleh Homi K. Bhaba. Menurut Bhaba (dalam Foulcer, 2008: 105), yang dimaksud dengan mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektifitas Eropa di lingkungan kolonial yang sudah tidak murni, yang tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam cahaya sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme. Sebenarnya, mimikri lebih dekat dengan olok-olok. Resistensi dapat berupa mimikri yang akan memunculkan olok-olok.

Selain itu, mimikri disebabkan adanya hubungan yang ambivalen antara penjajah dan terjajah. Sikap ambivalensi ini dipicu oleh adanya kecintaan terhadap suatu hal sekaligus membencinya. Menurut Bhabha ambivalensi tidak hanya dapat dibaca sebagai petanda trauma subjek kolonial, melainkan juga sebagai ciri cara kerja otoritas kolonial serta dinamika perlawanan. Selanjutnya, Bhabha juga mengungkapkan bahwa kehadiran kolonial itu selalu ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan. Dengan kata lain, identitas kolonial itu tidak stabil, meragukan, dan selalu terpecah (Loomba, 2003: 229—230).

Adapun karya sastra yang menampakkan aspek hibriditas, mimikri, dan ambivalensi adalah De Winst karya Afifah Afra. De Winst adalah novel pertama dari (rencana) tetralogi De Winst. De Winst pertama kali diterbitkan pada 2008.

Sekadar Sinopsis
Adalah Raden Mas Rangga Puruhita Suryanegara, seorang pemuda lulusan ekonomi universitas Leiden yang kembali pulang ke tanah airnya, Hindia Belanda. Ia adalah putra seorang pangeran di keraton Solo, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Suryanegara. Kepulangan Rangga membawa misi yang mulia, yaitu mempraktikkan ilmunya untuk membebaskan pribumi dari penindasan yang dilakukan oleh pabrik gula De Winst. De Winst, setelah dipimpin oleh Jan Meiyer Thijsse, berlaku tidak adil terhadap para pegawainya yang sebagian besar adalah bumiputra. Gaji yang diberikan kepada para pegawainya sangatlah kecil. Selain itu, perkebunan tebu yang tanahnya disewa dari penduduk juga dibayar dengan sangat murah.

Rangga bertekad untuk mengubah sistem yang sedang berlaku tersebut. Namun, perjuangan Rangga menemui banyak halangan, terutama dari pejabat tinggi De Winst yang sebagian besar adalah orang-orang Belanda. Mereka menolak dengan tegas usulan Rangga karena dianggap dapat merugikan pabrik. Perlawanan terhadap kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh De Winst tidak hanya dilakukan oleh Rangga, melainkan juga oleh Sekar Prembayun, Pratiwi, dan Jatmiko. Sekar adalah putri Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Suryakusuma. Ia memprotes keras perlakuan De Winst dengan cara menulis di surat kabar. Pratiwi adalah teman sekaligus murid Sekar. Ia adalah gadis yang ditunjuk sebagai perwakilan warga desa untuk menuntut bayaran yang lebih mahal kepada De Winst. Jatmiko adalah seorang pemuda yang “mempengaruhi” pemikiran-pemikiran Sekar dan Pratiwi. Mereka tergabung dalam Partai Rakyat.

Everdine Kareen Spinoza, istri Jan Thijsse, adalah gadis Belanda baik hati yang sangat membenci kesewenang-wenangan. Sebelum menikah dengan Thijsse, ia jatuh cinta pada Rangga. Rangga pun sebenarnya mencintai Kareen, tetapi sejak kecil telah dijodohkan dengan Sekar. Namun, perjodohan tersebut ditentang oleh Rangga maupun Sekar. Everdine, meskipun seorang Belanda, sangat bersimpati terhadap perjuangan yang dilakukan Rangga dan Sekar. Akan tetapi perjuangan mereka berakhir ketika pihak gubermen meringkus tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Partai Rakyat karena dianggap mengancam pemerintah. Mereka pun diasingkan di luar pulau Jawa.

Pakaian dan Identitas Pascakolonialisme
Pakaian adalah salah satu penanda yang paling jelas dari sekian banyak penanda penampilan luar. Pakaian dapat digunakan sebagai pembeda antara seorang yang satu dengan yang lainnya yang pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu (Van Dijk, 2005: 57). Dengan demikian, pakaian tidak hanya digunakan sebagai penutup tubuh. Pakaian adalah penanda identitas seseorang. Selanjutnya, pakaian juga dapat digunakan sebagai sarana untuk menganalisis wacana pascakolonialisme.

Pakaian yang dikenakan oleh Rangga adalah pakaian Barat (De Winst: 51). Hal yang sama juga dihadirkan pada tokoh Sekar Prembayun. Bahkan, Sekar menolak dengan tegas pakaian kebaya yang dianggapnya sangat membelenggu. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
“Ibu meminta saya mengenakan kain dan kebaya? Wah..wah..bisa-bisa saya jatuh karena tidak bisa menlangkah. Ibu lupa, sudah hampir 5 tahun, sejak lulus dari ELS, saya tidak mengenakan kebaya dan kain batik” (De Winst: 74).

Sungguh menarik mengetahui Rangga dan Sekar adalah orang-orang yang dibesarkan dengan tradisi keraton tetapi mereka menolak mengenakan pakaian ala keraton. Mereka adalah keturunan bangsawan-bangsawan Jawa yang mengagung-agungkan pakaiannya. Bahkan Rangga menolak dipanggil “raden mas”. Ia lebih senang dipanggil Rangga. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pendidikan yang diterima Rangga di Belanda tentunya berpengaruh besar terhadap pakaian yang dikenakannya. Demikian halnya dengan Sekar. Sekar dihadirkan sebagai gadis keraton yang suka memberontak terhadap aturan-aturan keraton. Termasuk pakaian yang dikenakannya. Pakaian yang dikenakan oleh Sekar adalah pakaian Barat. Ia “tidak mau bersusah payah memakai kebaya” (De Winst: 76).
Sekar mengenakan “pakaian seperti seorang pelajar Barat. Rok panjang dan Blouse” (De Winst: 79). Rangga pun lebih senang bertemu Sekar dengan pakaian Baratnya. Ia justru merasa bingung ketika harus bertemu Sekar sebagai wanita Jawa yang memegang teguh adat-istidat (berpakaian) keraton (De Winst: 79).

Pakaian Barat yang dikenakan oleh Rangga dan Sekar tersebut adalah sebuah bentuk mimikri. Mereka mengadopsi pakaian Barat (pakaian yang biasa dikenakan oleh orang-orang Belanda) tetapi mereka dengan tegas melawan sikap orang-orang Belanda. Bagi Rangga dan Sekar, yang berhak mengenakan pakaian Belanda (Barat) tidak hanya orang-orang Belanda, melainkan juga bumiputra seperti mereka. Mereka meniru pakaian-pakaian orang Belanda sekaligus mengolok-olok sikap mereka yang sewenang-wenang.

Pakaian-pakaian yang dikenakan oleh orang Belanda adalah pakaian yang bersih dan rapi sekaligus memungkinkan untuk bergerak dengan bebas. Sebaliknya, pakaian Jawa akan mebelenggu seseorang yang mengenakannya dalam tindakan merangkak dan menyembah. Untuk menampilkan intelektulitas orang-orang Belanda diperlukan seperangkat pakaian yang merefleksikannya, yaitu pakaian yang dikenakan oleh orang Belanda. Mereka harus ikut arus modernitas yang ditawarkan oleh Belanda. Namun, pakaian rapi dan bersih yang mereka kenakan tidak menjamin kebaikan sikap mereka. Dengan pakaiannya, Rangga dan Sekar telah menunjukkan sikap perlawanan.

Memang tidak semua orang Belanda dalam novel tersebut dihadirkan sebagai orang yang sikapnya sewenang-wenang. Ada juga beberapa orang yang Belanda yang dihadirkan sebagai pribadi yang baik, yang mencintai para bumiputra. Namun, sekali lagi, keberadaan mereka dilawan dan ditentang. Bahkan oleh orang-orang Belanda sendiri. Barangkali Everdine Kareen Spinoza adalah salah satu contoh. Ia adalah seorang Advokad yang selalu membela kepentingan bumiputra (De Winst: 120). Ia melawan segala bentuk kesewenang-wenangan, meskipun yang melakukannya adalah seorang Belanda. Sikap Everdine tersebut menimbulkan keresahan gubermen sehingga ia pun dikenai hukuman pengasingan. Ia dianggap melawan orang-orang kulit putih, orang-orang Belanda, dan tentunya Ratu Belanda.

Sebagai wanita Belanda, Everdine tentu mengenakan pakaian Barat, pakaian yang biasa dikenakan oleh orang-orang Belanda. Namun, Everdine dihadirkan sebagai wanita Belanda yang sangat mencintai bumiputra. Ia bahkan sangat mendukung sikap yang dimiliki oleh Rangga dan Sekar. Dengan pakaiannya, dapat dikatakan bahwa Everdine telah melakukan perlawanan. Perlawanan terhadap orang-orang sebangsanya. Ia menentang orang-orang Belanda yang memakai pakaian rapi namun bersikap licik.

Beberapa Ambivalensi
Pertama kali menginjakkan kakinya di Pelabuhan Tanjung Priok, Rangga dibuat kagum oleh pemandangan yang ada di Hindia Belanda. Bagi Rangga, meskipun bangunan-bangunannya tak semegah gedung-gedung Eropa, tetapi keeksotisannya mampu menciptakan kekaguman tersendiri di hatinya (De Wints: 7). Hal tersebut juga dapat dilihat pada kutipan berikut.
Oleh karenanya, meskipun Nederland adalah negeri impian, dengan kota-kota yang indah, taman-taman bunga penuh pucuk tulip, trem yang bersih dan berjalan cepat, desa-desa dengan kincir angin yang eksotis, serta lading-ladang dan peternakan yang digarap dengan teknologi modern, ia lebih merindukan berada diantara bangsanya yang lugu. Ia merindukan tiupan serulinggembala yang menyelinap di antara batang-batang padi, seperti yang ia dengar ketika mengikuti sang rama bertirakat di sebuah pesanggrahan di Kayangan, sebuah dusun yang terpencil di daerah Tirtomoyo, Wonogiri. Ia merindukan gemericik air sungai, serta hawa tropis yang hangat dan ramah (De Winst: 13—14).

Sikap yang dimiliki oleh Rangga tersebut adalah salah satu bentuk ambivalensi. Di satu sisi ia merasa bangga terhadap negeri Belanda, namun di sisi lain sangat mengagung-agungkan tanah kelahirannya. Rangga, meskipun selama delapan tahun mengenyam pendidikan di Belanda, tidak sepenuhnya setuju bahwa segala yang ada di Belanda itu lebih baik dibandingkan dengan Hindia Belanda. Namun, Rangga pun kembali menuai kekecewaan di tanah airnya. hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Sayangnya, ketika Rangga mulai menyusuri jalan-jalan tak beraspal ke desa-desa si pinggiran Solo, ia mulai merasakan perbedaan kondisi yang sangat kentara. Aroma kemiskinan mulai tercium dari sosok-sosok sulaya yang kekurangan nutrisi serta rumah-rumah yang tak berdiri kokoh karena hanya dibangun dari dinding bamboo, atap daun rumbia dan alas tanah. Ketika ia berpapasan dengan puluhan rombongan buruh yang baru keluar drai sebuah pabrik, ia melihat wajah-wajah mereka yang eltih dan suram. Tak ada gairah kehidupan. Tak ada aura kemakmuran dipertontonkan (De Winst: 47—48).

Rangga berada dintara negeri yang kaya sekaligus miskin. Deskripsi georafis tentang Hindia Belanda yang eksotis disandingkan dengan kemiskinan yang membelenggunya membuat Rangga terombang-ambing diantara keduanya. Ia tidak bisa sepenuhnya memuja negerinya yang indah, tetapi juga tidak bisa membenci negerinya yang miskin dan bodoh.
Rangga Puruhita dihadirkan sebagai seorang pemuda yang santun dan cerdas. Ia menjadi harapan sekaligus kebanggaan orang-orang disekitarnya. Ketika masih di Leiden, ia menjadi mahasiswa kesayangan Profesor Johan Van de Vondell karena prestasi-prestasinya. Ia juga berhasil meraih simpati Everdine Kareen Spinoza, seorang gadis Belanda yang sedang mengambil studi hukum. Dengan demikian, kebaikan-kebaikan yang dimiliki oleh Rangga tidak hanya ditampilkan melalui fisiknya, melainkan juga sikap dan prestasinya.

Rangga mempelajari ilmu ekonomi dari bangsa Belanda, di Universiteit Leiden. Namun, ia juga menggunakan ilmunya tersebut untuk melawan orang-orang Belanda. Rangga mempelajari potensi pengusaha bumiputra untuk memajukan perekonomian mereka. Bagi Rangga, “untuk bisa merdeka tidak sekadar membutuhkan proklamasi dan pengakuan secara de jure. Secara de facto juga harus merdeka, dalam artian tidak memiliki ketergantungan dengan bangsa asing” (De Winst: 232).
Ia mencintai sekaligus membenci orang-orang Belanda. ia mencintai ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang Belanda, namun ia juga lebih mencintai orang-orang sebangsanya. Ia tidak ingin para bumiputra semakin menderita dan tertindas.

Selain Rangga, yang juga mengalami ambivalensi adalah ayah Rangga, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Suryanegara. KGPH Suryanegara, meskipun seorang bangsawan Jawa, ia juga menjalin pergaulan dengan orang-orang Belanda. hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
Rangga cukup memahami, meski dari ningrat yang kental darah birunya, Sang Ayah sudah cukup terwarnai gaya pergaulan orang-orang Belandayang khususnya para administrator di berbagai perkebunan yang banyak terdapat di daerah pinggiran Surakarta, seperti Colomadu, Tasikmadu, Sukaharjo dan sebagainya. Ia tak terlalu ortodok dalam beberapa hal, meskipun masih banyak juga prinsip yang ia anut dengan sangat kuat (De Winst: 59).

Suryanegaralah yang mendukung Rangga untuk berjuang di pabrik gula De Winst dalam membela buruh-buruhnya yang sebagian besar adalah bumiputra. Ia adalah penyandang dana dan pemilik saham yang cukup besar di pabrik gula tersebut. meskipun bergaul dengan orang-orang kulit putih, ia tidak menykai perlakuan mereka yang suka sewenang-wenang terhadap kaum bumiputra. Perhatikan kutipan berikut.
Dan kau, sebagai seorang inlander, harus bisa mengalahkan mereka. kau harus buktikan, bahwa kau jauh lebih unggul dibanding dengan bule-bule yang pekerjaanya hanya berpesta-pesta, menjarah kehormatan perawan-perawan pribumi dan menghambur-hamburkna uang perusahaan. Selain malaise sikap merekalah yang telah membuat perusahaan semakin bangkrut. Ingat, Rama menyekolahkan kamu jauh-jauh ke Nederland, adalah agar kau bisa mencuri ilmu mereka. dan dengan ilmu tersebut, kau harus bisa menegakkan kehormatan bangsa yang terinjak-injak (De Winst: 61).

Berdasar kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Suryanegara adalah seseorang yang mengalami ambivalensi. Di satu sisi ia bergaul dengan orang Belanda, namun di sisi lain ia membenci orang Belanda. Ia menganggap orang Belanda sebagai musuh yang harus ditaklukkan karena sumber kekacauan.

Meskipun kau adalah lulusan Barat, Rama tidak pernah mengharapkan jika kau terseret dalam kehidupan yang serba bebas. Termasuk dalam memegang tata krama pergaulan. Kau dikirim ke Nederland untuk mencuri ilmu mereka, bukan untuk menjadi seperti mereka, bukan untuk menjadi seperti mereka. Rama harap kau camkan kata-kata tersebut (De Winst: 64).

Selain Suryanegara, bangsawan keraton yang juga mengalami ambivalensi adalah ibu Sekar. Sikap Sekar yang pemberontak sangat bertolak belakang dengan ibunya. Ibunya adalah wanita keraton sejati yang selalu menjunjung tinggi adat-istiadat keraton. Pakaian yang dikenakannya tentulah pakaian wanita Jawa. Namun, ia juga mengalami kecemburuan terhadap Sekar yang dapat berkutat dengan alat-alat modern, tidak seperti dirinya yang terbelenggu dengan alam tradisional. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Wanita dengan busana kejawen, yakni kain batik sidomukti, kebaya putih dan rambut digelung rapi itu sesaat tertegun. Ada binar kecemburuan menyelinap di kisi-kisi batinnya. Lihatlah..sosok yang tengah serius menekuri mesin ketik itu—barang yang baginya teramat mewah dan modern, adalah seorang perempuan, sama seperti dirinya. Namun, perempuan itu jauh lebih beruntungdibanding dirinya. Jika perempuan itu mampu bersahabat dengan alam modern, maka selamanya ia senantiasa berkutat dalam kubangan alam tradisional yang senantiasa membelenggunya. Beruntunglah kau nak…desah wanita kejawen itu (De Winst: 72).

Ibu Sekar telah mengalami apa yang dinamakan dengan ambivalensi. Di satu pihak ia sangat menjunjung tinggi adat istiadat keraton. Ia sangat mencintai kebiasaan-kebiasaan keraton dan tidak ingin memberontak. Di lain pihak ia membenci adat-istiadat keraton karena telah menjauhkannnya dengan dunia modern yang secara diam-diam diinginkannya.

Fokalisasi dan Ideologi Teks
Kajian terhadap sastra pascakolonialisme juga tidak dapat dilepaskan dari fokalisasi. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui cara pandang fokalisator terhadap tokoh dan peristiwa yang terdapat dalam karyanya. Fokalisasi pengarang dalam novel De Winst ini, menurut saya, di wakili oleh tokoh Rangga Puruhita dan Sekar Prembayun. Rangga mewakili golongan ambivalensi. Sikap-sikap yang ditunjukkan oleh Rangga cukup mewakili suara ambivalen. Adapun perlawanan yang dilakukan Sekar sama sekali tidak mengenal kompromi. Ia menolak mentah-mentah segala hal yang berhubungan dengan kapitalisme yang dilakukan oleh pihak Belanda. Ia memilih sikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial.
Selanjutnya, ideologi teks juga dianggap perlu untuk mengetahui keberpihakan karya sastra. Ideologi teks novel De Winst ini jelas memihak kepada kaum bumiputra. Hal tersebut sangat berhubungan dengan kepentingan pengarang memunculkan kembali wacana pascakolonialisme dalam novel. Pengarang seolah berusaha memberikan wacana tandingan dalam penghadiran kaum intelektual bumiputra yang cenderung berpihak pada pemerintah kolonial Belanda dan memusuhi, menghina, dan menganggap remeh kaum bumiputra.

Penutup
Wacana pascakolonialisme yang dihadirkan oleh pengarang dalam novel De Winst ini menitikberatkan pada wacana hibriditas, mimikri, dan ambivalensi. Wacana hibriditas dan mimikri dihadirkan dengan menggunakan sarana pakaian, sedangkan wacana ambivalensi dihadirkan melalui pandangan beberapa tokoh yang cenderung mencintai segala hal yang dilakukan Belanda namun sekaligus membencinya. Adapun suara pengarang sebagai fokalisator dalam novel ini tidak berada di luar, tetapi diwakili oleh tokoh Rangga Puruhita dan Sekar Prembayun.

Daftar Pustaka
Afra, Afifah. 2010. De Winst. Cet, 3. Solo: Indiva Media Kreasi.

Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Diterjemahkan oleh Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Bentang.

Van Dijk, Kees. 2005. “Sarung, Jubah, dan Celana Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi” dalam Nordholt, Henk Schulte (ed.). Outward Appearences. Yogyakarta: LKiS.

Day, Tony dan Keith Foulcher. 2008. “Bahasan Kolonial dalam Sastra Indonesia Modern Catatan Pendahuluan” dalam Day, Tony dan Keith Foulcher. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Foulcher, Keith. 2008. “Larut di Tempat yang Belum Terbentuk Mimikri dan Ambivalensi dalam Sitti Noerbaja Marah Rusli” dalam Day, Tony dan Keith Foulcher. Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.




Kategori